Dialah lelaki
tua dimana cintaku berlabuh puluhan tahun silam. Ia kakek dari para cucuku,
ayah dari anak-anakku. Dengan sabar ia membagi es pada ke  4 cucunya, cucuku.  Dan lelaki tua itulah yang menguatkan  hatiku, 
tempat cinta berbagi, dan sumber inspirasi dalam hidupku.
|  | 
| Illustrasi Fiksi Novelet: Gerimis Membingkai Senja di Braga by: berbagigagasan.blogspot.com Lukisan Oil Pastel (painting ) on Paper | 
Gerimis senja
,  menautkan kerinduanku pada masa silam
dan pada saat-saat berkumpul begini. Tak lama kemudian dua anakku  bersama 
pasangan mereka datang. Kami 
mengadakan reuni  setahun sekali
di tempat penuh kenangan ini. 
Namun anak
perempuanku yang hadir dengan suaminya, tampak  gusar . Katanya  tadi habis mampir ke rumahku untuk  menyimpan sesuatu .
“Mama, tadi  Uak Biyan 
kakak sepupumu itu, datang ke rumah mama, katanya mau minta bantuan uang
 lagi……buat beli beras….. Tapi hati-hati,
jangan-jangan malah beli televisi dan DVD player baru…buat nonton film 24 jam….Atau
jangan-jangan, untuk istrinya membeli kosmetik jutaan rupiah biar kulitnya
putih  dan awet muda…….Sebel aku
lihat  sepupumu itu mama…. Udahlah  malasnya 
luar biasa, nggak tahu malu 
lagi…….
Bukankah  dulu orang tua Uak Biyan, Nenek Rere dan
Kakek Raden ,  hidup sangat tergantung  harta orang tua, tergantung belas kasihan saudara.
Padahal….  sudahlah bagian
warisannya  terbesar karena dianggap
miskin,…… .eeeeeh, masih nggak cukup
juga, habis juga….
Terang aja, udahlah nggak suka kerja keras, boros habis pula , manja , tukang pamer, hedonis, konsumtif…. dan gemar tidur siang plus malas-malasan…… Ya , dikasih berapa aja nggak pernah cukuplah…..,"anak perempuanku menggerutu.
Terang aja, udahlah nggak suka kerja keras, boros habis pula , manja , tukang pamer, hedonis, konsumtif…. dan gemar tidur siang plus malas-malasan…… Ya , dikasih berapa aja nggak pernah cukuplah…..,"anak perempuanku menggerutu.
| 
Illustrasi Fiksi Novelet: Gerimis Membingkai Senja di Braga 
by: berbagigagasan.blogspot.com 
Lukisan : Oil Painting  on Paper | 
Masih belum puas juga. Anakku   kembali berkicau.
"...Bukankah dulunya orang tua Uak Biyan seperti tuan raja dan tuan ratu , yang selalu harus jadi pusat perhatian dan dilayani Nenek sama Kakek . Kata orang, mama dan papa sempat juga jadi seperti kacung dan supir mereka?
Biar mama nggak cerita sama aku, tapi orang lain yang bilang, mereka baru mulai rada baikan sama mama , setelah mama sukses dengan perusahaannya. Soalnya mereka suka ingin dikasih duit , dan ngambek kalau lupa dikasih sumbangan……
"...Bukankah dulunya orang tua Uak Biyan seperti tuan raja dan tuan ratu , yang selalu harus jadi pusat perhatian dan dilayani Nenek sama Kakek . Kata orang, mama dan papa sempat juga jadi seperti kacung dan supir mereka?
Biar mama nggak cerita sama aku, tapi orang lain yang bilang, mereka baru mulai rada baikan sama mama , setelah mama sukses dengan perusahaannya. Soalnya mereka suka ingin dikasih duit , dan ngambek kalau lupa dikasih sumbangan……
Makanya
tadi  aku tak mau memberi sepeserpun
kepada dia. Malah aku cemberutin itu muka Uak Biyan,  sebel, kerjaannya tidur, ngerumpi,
malas-malasan, ngobrol…… I
Istrinya nonton televisi melulu…Suruh kek kreatif , jadi tukang cuci kek, jadi tukang ojeg kek…jadi supir jemputan kek…..hari gini ada orang malas nggak kreatif pingin cari kerja jadi direktur….Apa kata dunia!!!!” anak perempuanku menyerocos tampak morang-maring menahan kesal.
Stop stop. Betapapun jahatnya mereka tetap saudara. Jadi, aku meletakkan telunjuk di bibir anakku.
Istrinya nonton televisi melulu…Suruh kek kreatif , jadi tukang cuci kek, jadi tukang ojeg kek…jadi supir jemputan kek…..hari gini ada orang malas nggak kreatif pingin cari kerja jadi direktur….Apa kata dunia!!!!” anak perempuanku menyerocos tampak morang-maring menahan kesal.
Stop stop. Betapapun jahatnya mereka tetap saudara. Jadi, aku meletakkan telunjuk di bibir anakku.
“Sssssssst,  tarik nafas, 
tenangkan hati…… Ingat Tuhan anakku sayang…… Justru  kita bisa bisa sejahtera  dan berharga 
karena  ada orang-orang yang kita
bantu, betapapun  buruknya mereka…..
Jangan sedikitpun menampakkan amarah kalian, atau menyakiti hati mereka. Apalagi Uak Biyankan 
lagi susah…..Kalau dia perlu beras, nanti kita kirim saja 2 karung…..Percaya
sama mama, sabar dan sabar ……. ,” aku memungkas 
suasana. Senja semakin  kelam. 
Jangan sedikitpun menampakkan amarah kalian, atau menyakiti hati mereka. Apalagi Uak Biyan
Betapa
bahagianya  malam ini anak cucuku
semua  akan menginap dan  merayakan ulang tahun cucu sulungku. 
Dan semua cucu
harus kebagian hak dan perhatian yang sama.
Aku pantang menjadi nenek pilih kasih yang tampak tidak adil bagi salah satu cucunya. Atau menampakkan puji-pujian sanjungan berlebihan kepada cucu yang satu, sementara yang lain dicuekkan.
Atau...... , yang jelas jangan sampai terjadilah sejarah buruk itu....
Aku pantang menjadi nenek pilih kasih yang tampak tidak adil bagi salah satu cucunya. Atau menampakkan puji-pujian sanjungan berlebihan kepada cucu yang satu, sementara yang lain dicuekkan.
Atau...... , yang jelas jangan sampai terjadilah sejarah buruk itu....
Aku ingin jadi
nenek yang dikenang   oleh semua cucunya
sebagai nenek yang bersih hati tapi tidak gila pujian atau  mabuk sanjungan. 
Kebaikan  adalah benih cinta yang bisa membuat cucuku tumbuh
menjadi pohon-pohon kokoh yang akarnya menghujam bumi,  dahannya 
tinggi menukik langit.  
Jalan Braga menjemput
malam. Namun lampu-lampu dan gemerlap  merkury
 mulai menampakkan  wajahnya. Kami berjalan ke arah tempat parkir
mobil waktu kami  dikejutkan  dengan kehadiran Biyan dan istrinya serta
anak wanita dewasanya di tempat parkir . 
“Neneng….,  tadi kata pembantu ,  kalian lagi pada ngariung (berkumpul./Sunda) di Braga.Boleh dong ikutan  kita
ditraktir…..,” tampak senyum lebar Biyan dengan rambut yang mulai memutih.
Ia sungguh jiplakan ke dua orang tuanya. Terbiasa jadi pengeretan, selalu ingin hura-hura, jalan-jalan, foya-foya.... tapi bukan dengan hasil jerih payah sendiri. Melainkan mendomoleng atas hasil banting tulang orang lain. Minta ditraktir.... Dan sering mencela kalau traktirannya kurang memuaskan atau kurang bergengsi....
Ia sungguh jiplakan ke dua orang tuanya. Terbiasa jadi pengeretan, selalu ingin hura-hura, jalan-jalan, foya-foya.... tapi bukan dengan hasil jerih payah sendiri. Melainkan mendomoleng atas hasil banting tulang orang lain. Minta ditraktir.... Dan sering mencela kalau traktirannya kurang memuaskan atau kurang bergengsi....
Dan aku tengah
berjuang habis-habisan menerapkan kembali menejemen sabar itu. Belum sempat aku
menjawab.Anakku langsung menukas dengan nada sedikit tinggi.
“Maaf ya !!! “ malahan
anak perempuanku yang berteriak , sebelum aku berucap,
”Maaf sekali lagi Uak
Biyan, kami udah selesai ….,kami terburu-buru
“ lagi timpal anak perempuanku.
Anak perempuanku
menghampirinya seraya menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribu rupiah. 
” Ini ada ongkos buat Uak Biyan pulang. Maaf
kami tak bisa mengantar, mobilnya  penuh.
Soal beras, nanti berasnya akan kami antar ke rumah …,”  tiba-tiba anak perempuanku mendorongku ke
dalam salah satu mobil dan menyuruh yang lainnya  masuk. 
Mobil
bergerak,  dan aku tak berkutik. Apalagi
setelah mobil melaju, tampak wanita dewasa  
putri Biyan melonjak kegirangan oleh 
uang yang disodorkan anak perempuanku tadi.
Ia melonjak kegirangan di atas sepatu seharga ratusan ribu rupiahnya. Memasukkan lembaran uang ke dalam tas dengan merk terkenal, dan pakaian dari butik mahal.
Ia melonjak kegirangan di atas sepatu seharga ratusan ribu rupiahnya. Memasukkan lembaran uang ke dalam tas dengan merk terkenal, dan pakaian dari butik mahal.
Dari kejauhan
kami menyaksikan istri Biyan, tua , tapi  dengan  dandanan ala artis  muda saja. Dengan baju  yang selalu baru , make up yang  selalu menor dan mahal, rambut bercat pirang
disasak ke atas.
Istri Biyan sudah menua , kini ia seorang nenek yang selalu disentuh dengan kosmetika perawatan seharga jutaan rupiah.
Begitu pula anak perempuannya , anak Biyan , mereka turun temurun sama saja. Seperti perilaku Uak Rere saja, dan suaminya Uak Raden.
Dari kejauhan tampak mereka menyetop sebuah taksi, betapapun rumah mereka tak jauh dari jalanBraga .
Istri Biyan sudah menua , kini ia seorang nenek yang selalu disentuh dengan kosmetika perawatan seharga jutaan rupiah.
Begitu pula anak perempuannya , anak Biyan , mereka turun temurun sama saja. Seperti perilaku Uak Rere saja, dan suaminya Uak Raden.
Dari kejauhan tampak mereka menyetop sebuah taksi, betapapun rumah mereka tak jauh dari jalan
Jalan Braga kian
tenggelam dalam dekapan malam. Dan aku tahu, betapa banyak Biyan-biyan lain
yang  hidup seperti itu. 
Karena    tak pernah ada sangsi sosial , apalagi teguran
dan   hukuman bagi kesalahan mereka, yang ada justru
 malah dukungan, belas kasihan kalap
membabi buta , yang  mengekalkan pola
hidup  meminta dikasihani, yang
akhirnya  akan menjerumuskan mereka
sendiri dalam lembah konsumtif dan kemalasan. 
Kini aku sungguh
tak mampu berkata apapun lagi, jangan-jangan  habis sudah kesabaranku oleh perilaku turun
temurun  tersebut. 
Mungkin, sudah waktunya aku melindungi diri sendiri dan keluarga intiku. Cukup sudah, toleransi ada batasnya. Orang yang kami tolong dan mewajibkan kami bersedekah  kepada mereka, sebagian besar usia mudanya  habis dengan terbanyak bersantai, boros  (membeli kosmetik perawatan kulit super mahal,  berbusana selalu modis terkini). Kurang kerja keras. 
Jam tidur kami  sehari semalam hanya 4 jam selama puluhan tahun. Sebaliknya, jam kerja mereka  hanya sedikit, dibandingkan jam  relaks mereka. yang terlalu pa njang. 
Mereka suka membual sedang sibuk kerja, padahal sedang tidur siang sepanjang hari. Atau , banyak sekali bualan dan kebohonngan mereka  karena ogah kerja keras......
Kadang mereka lupa,  di hari tua mereka tampak kerja keras , padahal banyak orang tak tau yang mereka kelabui, di masa lalu  mereka  terlalu santai. 
Tapi TUhan kan Maha Melihat. Selebar apapun bibir mereka dan lidah mereka  membual, tapi  hitungan Tuhan selalu tepat. Setiap orang akan memetik hasil dari yang ditanamnya. 
Kadang orang lupa menanam di awal berumah tangga, karena terlalu asyik memanen pohon yang ditanam orang tuanya. 
Sehingga saat pohon itu menua, dan tak lagi berbuah, mereka baru sadar, telah lupa menanam pohon dengan kerih payah sendiri. 
Mungkin.... aku tak bisa lagi  membiarkan  mereka menginjak-injak  dan  'memperbudak' kami......
Seperti gerimis
senja di jalan Braga ,
yang berubah menjadi  amukan hujan badai
dan puting beliung serta  sambaran petir
ke  segala penjuru bumi. (TAMAT)
(NOVELETTE INI DITULIS DI Bandung , dari 2008-BULAN APRIL 2010)

