Daftar Blog Saya

Minggu, 19 Juli 2015

NOVELETTE (5-tamat): GERIMIS MEMBINGKAI SENJA DI BRAGA

simak cerita sebelumnya di bagian 4

Ada seseorang lain yang juga hadir.  Seorang lelaki dengan keriput yang indah. Indah .... sebab  itu wajah yang aku sayang. Bukan…bukan ayahku. Ayahku telah lama tiada.

Dialah lelaki tua dimana cintaku berlabuh puluhan tahun silam. Ia kakek dari para cucuku, ayah dari anak-anakku. Dengan sabar ia membagi es pada ke  4 cucunya, cucuku.  Dan lelaki tua itulah yang menguatkan  hatiku,  tempat cinta berbagi, dan sumber inspirasi dalam hidupku.
Illustrasi Fiksi Novelet: Gerimis Membingkai Senja di Braga
by: berbagigagasan.blogspot.com
Lukisan Oil Pastel (painting ) on Paper

Gerimis senja ,  menautkan kerinduanku pada masa silam dan pada saat-saat berkumpul begini. Tak lama kemudian dua anakku  bersama  pasangan mereka datang. Kami  mengadakan reuni  setahun sekali di tempat penuh kenangan ini.

Namun anak perempuanku yang hadir dengan suaminya, tampak  gusar . Katanya  tadi habis mampir ke rumahku untuk  menyimpan sesuatu .

“Mama, tadi  Uak Biyan  kakak sepupumu itu, datang ke rumah mama, katanya mau minta bantuan uang  lagi……buat beli beras….. Tapi hati-hati, jangan-jangan malah beli televisi dan DVD player baru…buat nonton film 24 jam….Atau jangan-jangan, untuk istrinya membeli kosmetik jutaan rupiah biar kulitnya putih  dan awet muda…….Sebel aku lihat  sepupumu itu mama…. Udahlah  malasnya  luar biasa, nggak tahu malu  lagi…….

Bukankah  dulu orang tua Uak Biyan, Nenek Rere dan Kakek Raden ,  hidup sangat tergantung  harta orang tua, tergantung belas kasihan saudara. Padahal….  sudahlah bagian warisannya  terbesar karena dianggap miskin,…… .eeeeeh, masih nggak cukup juga, habis juga….

Terang aja,  udahlah  nggak  suka kerja keras, boros habis pula , manja , tukang pamer, hedonis, konsumtif…. dan gemar tidur siang plus malas-malasan…… Ya ,  dikasih berapa aja nggak pernah cukuplah…..,"anak perempuanku menggerutu.

Illustrasi Fiksi Novelet: Gerimis Membingkai Senja di Braga
by: berbagigagasan.blogspot.com
Lukisan : Oil Painting  on Paper


Masih belum puas juga. Anakku   kembali berkicau.

"...Bukankah  dulunya   orang tua Uak Biyan seperti  tuan raja  dan tuan ratu , yang selalu harus jadi pusat perhatian dan dilayani  Nenek sama Kakek . Kata orang,  mama dan papa sempat juga jadi seperti  kacung dan supir mereka?

Biar mama nggak cerita sama aku, tapi orang lain yang bilang,  mereka baru mulai rada baikan sama  mama ,  setelah mama  sukses dengan perusahaannya. Soalnya mereka   suka  ingin dikasih duit , dan ngambek kalau lupa  dikasih sumbangan……

Makanya tadi  aku tak mau memberi sepeserpun kepada dia. Malah aku cemberutin itu muka Uak Biyan,  sebel, kerjaannya tidur, ngerumpi, malas-malasan, ngobrol…… I

Istrinya nonton televisi melulu…Suruh kek kreatif  , jadi tukang cuci kek, jadi tukang ojeg kek…jadi supir jemputan kek…..hari gini ada orang malas nggak kreatif   pingin cari kerja jadi direktur….Apa kata dunia!!!!”  anak perempuanku menyerocos tampak  morang-maring menahan kesal.

Stop stop. Betapapun  jahatnya mereka tetap saudara. Jadi, aku meletakkan telunjuk di bibir anakku. 

“Sssssssst,  tarik nafas,  tenangkan hati…… Ingat Tuhan anakku sayang…… Justru  kita bisa bisa sejahtera  dan berharga  karena  ada orang-orang yang kita bantu, betapapun  buruknya mereka…..

Jangan sedikitpun menampakkan amarah kalian, atau menyakiti hati mereka. Apalagi Uak Biyan kan lagi susah…..Kalau dia perlu beras, nanti kita kirim saja 2 karung…..Percaya sama mama, sabar dan sabar ……. ,” aku memungkas  suasana. Senja semakin  kelam.

Betapa bahagianya  malam ini anak cucuku semua  akan menginap dan  merayakan ulang tahun cucu sulungku.

Dan semua cucu harus kebagian hak dan perhatian yang sama.

Aku  pantang  menjadi nenek pilih kasih  yang tampak tidak adil bagi salah satu  cucunya. Atau menampakkan puji-pujian sanjungan berlebihan kepada cucu yang satu, sementara yang lain dicuekkan.
Atau......  , yang jelas jangan sampai terjadilah sejarah buruk itu....

Aku ingin jadi nenek yang dikenang   oleh semua cucunya sebagai nenek yang bersih hati tapi tidak gila pujian atau  mabuk sanjungan.

Kebaikan  adalah benih cinta yang bisa membuat cucuku tumbuh menjadi pohon-pohon kokoh yang akarnya menghujam bumi,  dahannya  tinggi menukik langit. 

Jalan Braga menjemput malam. Namun lampu-lampu dan gemerlap  merkury  mulai menampakkan  wajahnya. Kami berjalan ke arah tempat parkir mobil waktu kami  dikejutkan  dengan kehadiran Biyan dan istrinya serta anak wanita dewasanya di tempat parkir .

“Neneng….,  tadi kata pembantu ,  kalian lagi pada ngariung (berkumpul./Sunda) di Braga.Boleh dong ikutan  kita ditraktir…..,” tampak senyum lebar Biyan dengan rambut yang mulai memutih.

Ia sungguh  jiplakan ke dua orang tuanya. Terbiasa jadi pengeretan, selalu ingin hura-hura, jalan-jalan, foya-foya....   tapi bukan dengan hasil jerih payah sendiri. Melainkan mendomoleng atas hasil banting tulang orang lain. Minta ditraktir.... Dan sering mencela kalau traktirannya kurang memuaskan atau kurang bergengsi....

Dan aku tengah berjuang habis-habisan menerapkan kembali menejemen sabar itu. Belum sempat aku menjawab.Anakku langsung menukas dengan nada sedikit tinggi.

“Maaf ya !!! “ malahan anak perempuanku yang berteriak , sebelum aku berucap,

”Maaf sekali lagi Uak Biyan, kami udah selesai ….,kami terburu-buru “ lagi timpal anak perempuanku.

Anak perempuanku menghampirinya seraya menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribu rupiah. 

” Ini ada ongkos buat Uak Biyan pulang. Maaf kami tak bisa mengantar, mobilnya  penuh. Soal beras, nanti berasnya akan kami antar ke rumah …,”  tiba-tiba anak perempuanku mendorongku ke dalam salah satu mobil dan menyuruh yang lainnya  masuk.



Mobil bergerak,  dan aku tak berkutik. Apalagi setelah mobil melaju, tampak wanita dewasa   putri Biyan melonjak kegirangan oleh  uang yang disodorkan anak perempuanku tadi.

Ia melonjak kegirangan di atas sepatu  seharga ratusan ribu rupiahnya. Memasukkan lembaran uang ke dalam  tas  dengan merk terkenal, dan pakaian  dari butik  mahal.

Dari kejauhan kami menyaksikan istri Biyan, tua , tapi  dengan  dandanan ala artis  muda saja. Dengan baju  yang selalu baru , make up yang  selalu menor dan mahal, rambut bercat pirang disasak ke atas.

Istri Biyan sudah menua , kini ia seorang nenek yang  selalu disentuh dengan kosmetika perawatan  seharga jutaan rupiah.

Begitu pula anak  perempuannya , anak  Biyan  , mereka turun temurun sama saja. Seperti perilaku Uak Rere saja, dan suaminya Uak Raden.

Dari kejauhan tampak mereka menyetop sebuah taksi, betapapun rumah mereka tak jauh dari jalan Braga.

Jalan Braga kian tenggelam dalam dekapan malam. Dan aku tahu, betapa banyak Biyan-biyan lain yang  hidup seperti itu. 

Mereka, para iparku itu. Sebenarnya, tak lain dan tak bukan.....  ‘pengemis’ terselubung. Hanya saja lebih berkelas, bergengsi dengan penampilan modis memukau.   Satu pelajaran mahal bagiku,  bahwa  ketidak adilan akan mencetak  dan mengekalkan perilaku malas dan buruk .

Karena    tak pernah ada sangsi sosial , apalagi teguran dan   hukuman bagi kesalahan mereka, yang ada justru  malah dukungan, belas kasihan kalap membabi buta , yang  mengekalkan pola hidup  meminta dikasihani, yang akhirnya  akan menjerumuskan mereka sendiri dalam lembah konsumtif dan kemalasan.

Kini aku sungguh tak mampu berkata apapun lagi, jangan-jangan  habis sudah kesabaranku oleh perilaku turun temurun  tersebut.

Mungkin, sudah waktunya aku melindungi diri sendiri dan keluarga intiku. Cukup sudah, toleransi ada batasnya. Orang yang kami tolong dan mewajibkan kami bersedekah  kepada mereka, sebagian besar usia mudanya  habis dengan terbanyak bersantai, boros  (membeli kosmetik perawatan kulit super mahal,  berbusana selalu modis terkini). Kurang kerja keras. 

Jam tidur kami  sehari semalam hanya 4 jam selama puluhan tahun. Sebaliknya, jam kerja mereka  hanya sedikit, dibandingkan jam  relaks mereka. yang terlalu pa njang. 

Mereka suka membual sedang sibuk kerja, padahal sedang tidur siang sepanjang hari. Atau , banyak sekali bualan dan kebohonngan mereka  karena ogah kerja keras......
Kadang mereka lupa,  di hari tua mereka tampak kerja keras , padahal banyak orang tak tau yang mereka kelabui, di masa lalu  mereka  terlalu santai. 

Tapi TUhan kan Maha Melihat. Selebar apapun bibir mereka dan lidah mereka  membual, tapi  hitungan Tuhan selalu tepat. Setiap orang akan memetik hasil dari yang ditanamnya. 
Kadang orang lupa menanam di awal berumah tangga, karena terlalu asyik memanen pohon yang ditanam orang tuanya. 

Sehingga saat pohon itu menua, dan tak lagi berbuah, mereka baru sadar, telah lupa menanam pohon dengan kerih payah sendiri. 

Mungkin.... aku tak bisa lagi  membiarkan  mereka menginjak-injak  dan  'memperbudak' kami......

Seperti gerimis senja di jalan Braga, yang berubah menjadi  amukan hujan badai dan puting beliung serta  sambaran petir ke  segala penjuru bumi. (TAMAT)

(NOVELETTE INI DITULIS DI Bandung, dari 2008-BULAN APRIL 2010)

Illustrasi Fiksi Novelet: Gerimis Membingkai Senja di Braga
by: berbagigagasan.blogspot.com
Lukisan ACRYLIC ON CANVAS (painting ) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar