Lain kali di lintasan jalan ini seolah aku melihat sosok ayahku yang tegap dan tampan. Pada masa mudanya .
Ayah yang
mengisi kenangan  begitu dalam, sosok
yang membuat  aku merasa hidup dan
bermakna . Semua kata-katanya selalu meneguhkan bahwa aku  tetap anak istimewa. Sehingga mampu
menumbangkan pendapat-pendapat  miring dari
kelompok orang yang dewasa yang  kerap
sulit aku lupakan. 
Ungkapan  negatif , yang  walaupun untuk anak seusiaku baru  4 tahun, sudah dapat aku pahami. Mulai dari
ucapan si buruk  rupa yang berkulit
gelap,  sampai si bodoh, atau  bahasa tubuh yang jelas mewakili rasa  tak suka 
kepadaku…Bahasa tubuh yang mencemooh aku…… Anak kecil yang seolah
kehadirannya tak disukai , tak diharapkan, ……. 
.Dan pastinya, jelek itu identik dengan bodoh,  aku kerap mendengar ucapan menyakitkan
begitu. ….
 Lalu aku mulai belajar , apa artinya ketidak
adilan itu. Betapapun datangnya dari orang 
yang membuat aku ada, darah dagingku sendiri. Nenekku, uakku, pamanku,
bibiku.  
Aku mulai mengenal dan merasakan
bahwa banyak orang dewasa yang tidak adil dan berpihak  kepada 
anak kecil lainnya tanpa memperhatikan 
perasaan anak kecil lainnya.Memuja yang satu di hadapan yang lainnya,
sementara yang lainnya itu dicemooh. Atau membela yang satu betapapun nakalnya,
sementara yang dinakali itu malah dicela. 
 Aku bisa merasakan bagaimana seorang
nenek  selalu tandas habis  menghujani pujian  dan sanjungan kepada cucu yang ia
sayangi  ,  hanya karena 
orangtuanya  adalah menantu
tercintanya. Bahkan sanjungan bahwa sang menantu memiliki orang tua hebat istimewa,
 memiliki orang tua yang  pantas dijadikan kebanggaan. Besan  kesayangan, istilahnya. Sementara  ibuku? 
Aku bisa
merasakan, sejak kecil, jika keluarga nenek habis-habisan menjamu  besan kesayangannya, dan ibuku  terbirit-birit antara dapur, ruang
makan,  ruang tamu , demi menyempurnakan
jamuan bagi besan  hebat yang  entah mengapa nenekku begitu menyanjungnya. 
Besan  berdarah biru yang pantas
dihormati.Besan yang
cucu-cucunya jika datang mendapat sambutan bak putra-putri mahkota  yang  kudu
dihormati, disanjung, disayangi dan dilayani. Bahkan nenek seperti  juga kakek, selalu menekankan ayahku agar sepanjang
hidupnya memerhatikan keluarga uakku itu, Uak Rere dan Uak Raden, melayani dan
meluangkan waktu bagi mereka. 
Kadang ayahku seperti supir dan pengasuh
bagi  sepupu-sepupuku itu. Kadang ibuku
seperti pelayan bagi  uak dan
anak-anaknya.
 Lalu  sikap
nenekku terhadap uakku, maksudku menantunya itu , lelaki  berdarah menak itu  ,  menyerupai
sambutan  bak raja di raja. 
Untuk putri
kesayangan nenek, uakku itu,   kakak
perempuan ayah, kedatangannya bak seorang ratu. Nenekku habis-habisan
menyiapkan  hidangan  penghormatan terbaik, dan membiarkan  pasangan itu bak dewa-dewi yang  bukan hanya harus dijamu dengan santapan
terbaik, tapi mereka   dimanja untuk
istirahat dan bersantai.  Tidur dan
tidur…….. Betapapun untuk itu ibuku harus dikorbankan  demi melayani anak-anak  sang raja dan ratu ‘kandang’ tersebut. 
Sementara ibuku,
jika dia datang dan bermalam di rumah nenek, tugasnya adalah kerja-dan
kerja…..Salah sedikit saja pekerjaannya, nenekku akan mengomentari secara halus
lembut, namun sebenarnya sinis dan tajam. 
Yang bisa mensahkan
kebencian mereka kepada ibu. Dan membuat perilaku negatif  mereka kepada ibuku jadi  legal.
Aku sebal  karena 
mereka kerap kali menginterograsi diriku, demi mengorek-ngorek rahasia
ibuku. Bahkan cenderung menekan dan memaksa, lantas  menggiring 
jawabanku , sehingga lewat omonganku mereka putar-putarkan, ibuku seolah
terbukti salah. 
Aku telah
belajar  tentang arti kedengkian dan  ketidak adilan itu sejak usia dini.  
Dan bagaimana
seorang nenekku  bersikap sangat
membedakan, sinis, ekspresi wajah  dingin
kepada  salah satu cucunya (aku)  karena 
…entah apalah. Bisa jadi karena  dendam pribadi terhadap besan , atau entah
kedengkian atau entah kecemburuan kepada sang menantu, ibuku. 
Sementara cucu
lainnya diperlakukan  jauh lebih baik
dari aku.  Biyan dan Mbak Denok anak
uakku,   atau  Rafli
dan Andina,  anak pamanku , oleh nenekku,
 mereka disayangi habis-habisan,  disanjung habis, dijadikan sasaran perhatian
siang dan malam, digendong, dipeluk, disuapi, diceboki, dilayani………
Aku tidak!! 
Aku
merasakan itu…Bahkan sejak usia bayi, 
tak ada satu fotopun dimana nenekku menggendong  aku? Di ruang keluarga, semua foto cucu nenek
ada, kecuali foto aku. 
Tidak , tak
satupun….. Pernah aku mencoba bertanya kepada salah satu pembantu nenek, apakah
dulu aku seperti  Biyan sepupuku  disayangi oleh nenekku? 
Atau seperti
Mbak Denok ,  kakak Biyan yang  mendapat sanjungan hebat nenek.?   Dan nenek selalu berlinangan airmata jika
Biyan ,  Denok, Rafli dan Andina  pamitan pulang 
setelah bermalam di rumah nenek. Tapi nenek tak pernah merasa berat berpisah
denganku.
“Wah, Neng , belum
pernah tuh juragan istri teh menggendong Neneng…..…,  juragan kelihatannya  kurang suka sama Neneng….  Ia juga tak kelihatan gembira  waktu Neneng lahir,  jauh berbeda dengan kelahiran Biyan dan
Denok….,atau lahirnya Rafli dan Andina….” ujar 
pembantu nenek. (BERSAMBUNG KE BAGIAN 3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar