Daftar Blog Saya

Minggu, 19 Juli 2015

NOVELETTE(2): Gerimis Membingkai Senja di Braga

sambungan dari bagian 1

Braga oh Braga,  di sini kenangan  tak pernah  pupus di benakku.

Lain kali di lintasan jalan ini seolah aku melihat sosok ayahku yang tegap dan tampan. Pada masa mudanya .
Ayah yang mengisi kenangan  begitu dalam, sosok yang membuat  aku merasa hidup dan bermakna . Semua kata-katanya selalu meneguhkan bahwa aku  tetap anak istimewa. Sehingga mampu menumbangkan pendapat-pendapat  miring dari kelompok orang yang dewasa yang  kerap sulit aku lupakan.

Ungkapan  negatif , yang  walaupun untuk anak seusiaku baru  4 tahun, sudah dapat aku pahami. Mulai dari ucapan si buruk  rupa yang berkulit gelap,  sampai si bodoh, atau  bahasa tubuh yang jelas mewakili rasa  tak suka  kepadaku…Bahasa tubuh yang mencemooh aku…… Anak kecil yang seolah kehadirannya tak disukai , tak diharapkan, …….  .Dan pastinya, jelek itu identik dengan bodoh,  aku kerap mendengar ucapan menyakitkan begitu. ….

 Lalu aku mulai belajar , apa artinya ketidak adilan itu. Betapapun datangnya dari orang  yang membuat aku ada, darah dagingku sendiri. Nenekku, uakku, pamanku, bibiku.  

Aku mulai mengenal dan merasakan bahwa banyak orang dewasa yang tidak adil dan berpihak  kepada  anak kecil lainnya tanpa memperhatikan  perasaan anak kecil lainnya.Memuja yang satu di hadapan yang lainnya, sementara yang lainnya itu dicemooh. Atau membela yang satu betapapun nakalnya, sementara yang dinakali itu malah dicela.

 Aku bisa merasakan bagaimana seorang nenek  selalu tandas habis  menghujani pujian  dan sanjungan kepada cucu yang ia sayangi  ,  hanya karena  orangtuanya  adalah menantu tercintanya. Bahkan sanjungan bahwa sang menantu memiliki orang tua hebat istimewa,  memiliki orang tua yang  pantas dijadikan kebanggaan. Besan  kesayangan, istilahnya. Sementara  ibuku? 

Aku bisa merasakan, sejak kecil, jika keluarga nenek habis-habisan menjamu  besan kesayangannya, dan ibuku  terbirit-birit antara dapur, ruang makan,  ruang tamu , demi menyempurnakan jamuan bagi besan  hebat yang  entah mengapa nenekku begitu menyanjungnya. 

Besan  berdarah biru yang pantas dihormati.Besan yang cucu-cucunya jika datang mendapat sambutan bak putra-putri mahkota  yang  kudu dihormati, disanjung, disayangi dan dilayani. Bahkan nenek seperti  juga kakek, selalu menekankan ayahku agar sepanjang hidupnya memerhatikan keluarga uakku itu, Uak Rere dan Uak Raden, melayani dan meluangkan waktu bagi mereka. 

Kadang ayahku seperti supir dan pengasuh bagi  sepupu-sepupuku itu. Kadang ibuku seperti pelayan bagi  uak dan anak-anaknya.
 Lalu  sikap nenekku terhadap uakku, maksudku menantunya itu , lelaki  berdarah menak itu  ,  menyerupai sambutan  bak raja di raja. 

Untuk putri kesayangan nenek, uakku itu,   kakak perempuan ayah, kedatangannya bak seorang ratu. Nenekku habis-habisan menyiapkan  hidangan  penghormatan terbaik, dan membiarkan  pasangan itu bak dewa-dewi yang  bukan hanya harus dijamu dengan santapan terbaik, tapi mereka   dimanja untuk istirahat dan bersantai.  Tidur dan tidur…….. Betapapun untuk itu ibuku harus dikorbankan  demi melayani anak-anak  sang raja dan ratu ‘kandang’ tersebut.

Sementara ibuku, jika dia datang dan bermalam di rumah nenek, tugasnya adalah kerja-dan kerja…..Salah sedikit saja pekerjaannya, nenekku akan mengomentari secara halus lembut, namun sebenarnya sinis dan tajam.

Ada saja salah ibuku. Kalau ibuku tak ada salah,  nenek dan uakku bahkan bibiku, akan berembuk mencari-cari apa saja  daftar kesalahan ibuku yang bisa dibesar-besarkan.
Yang bisa mensahkan kebencian mereka kepada ibu. Dan membuat perilaku negatif  mereka kepada ibuku jadi  legal.

Aku sebal  karena  mereka kerap kali menginterograsi diriku, demi mengorek-ngorek rahasia ibuku. Bahkan cenderung menekan dan memaksa, lantas  menggiring  jawabanku , sehingga lewat omonganku mereka putar-putarkan, ibuku seolah terbukti salah.

Aku telah belajar  tentang arti kedengkian dan  ketidak adilan itu sejak usia dini. 
Dan bagaimana seorang nenekku  bersikap sangat membedakan, sinis, ekspresi wajah  dingin kepada  salah satu cucunya (aku)  karena  …entah apalah. Bisa jadi karena  dendam pribadi terhadap besan , atau entah kedengkian atau entah kecemburuan kepada sang menantu, ibuku.

Sementara cucu lainnya diperlakukan  jauh lebih baik dari aku.  Biyan dan Mbak Denok anak uakku,   atau  Rafli dan Andina,  anak pamanku , oleh nenekku,  mereka disayangi habis-habisan,  disanjung habis, dijadikan sasaran perhatian siang dan malam, digendong, dipeluk, disuapi, diceboki, dilayani………

Aku tidak!! 

Aku merasakan itu…Bahkan sejak usia bayi,  tak ada satu fotopun dimana nenekku menggendong  aku? Di ruang keluarga, semua foto cucu nenek ada, kecuali foto aku.

Tidak , tak satupun….. Pernah aku mencoba bertanya kepada salah satu pembantu nenek, apakah dulu aku seperti  Biyan sepupuku  disayangi oleh nenekku?

Atau seperti Mbak Denok ,  kakak Biyan yang  mendapat sanjungan hebat nenek.?   Dan nenek selalu berlinangan airmata jika Biyan ,  Denok, Rafli dan Andina  pamitan pulang  setelah bermalam di rumah nenek. Tapi nenek tak pernah merasa berat berpisah denganku.

“Wah, Neng , belum pernah tuh juragan istri teh menggendong Neneng…..…,  juragan kelihatannya  kurang suka sama Neneng….  Ia juga tak kelihatan gembira  waktu Neneng lahir,  jauh berbeda dengan kelahiran Biyan dan Denok….,atau lahirnya Rafli dan Andina….” ujar  pembantu nenek. (BERSAMBUNG KE BAGIAN 3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar