Daftar Blog Saya

Minggu, 19 Juli 2015

NOVELETTE (1): Gerimis Membingkai Senja di Braga (1)

Bandung , Senja di Jalan Braga 2010.


ILLUSTRASI FIKSI/NOVELETTE :
 gerimis Membingkai senja di Braga, 
berbagigagasan.blogspot.com. Illustrasi Fiksi by: masrierie
ACRYLIC PAINTING ON CANVAS , THE FLOWER, LEAF  AND THE MOON, BY ME




            Bukankah segelas kopi panas kaya kepulan   asap   ini , yang telah menumbuhkan  kerinduan itu?  Aroma kuat yang  mengairi  sekujur urat darahku. Dan membunuh rasa kantukku.

            Potongan kue   klasik yang beberapa kali  kutelan  sanggup menyemai semangat ,  dan  sebuah laptop mungil penuh  setia  menanti  di hadapanku. Dimana potret-potret tua  putih kekuningan  membentang di layar, silih berganti menuturkan  tatap mata dan senyum sarata makna  dari  masa  silam. Wajah-wajah dimana pada setiap lekuk  pandangan serta  garis  ekspresinya memuat  berjuta  kisah.

Di luar, trotoar dengan barisan tanaman hias serta gerimis  membentuk  padanan  senja  jalan Braga.  Kesenyapan jalan yang cuma jadi  lintasan belaka. Seolah  tak ada ikatan batin untuk sekedar singgah di jalan sarat nostalgi ini.

Tanganku menyambar  cangkir kopi di antara  suasana senja . Musim hujan terasa panjang, dan  curah hujan begitu tinggi. Gemuruh petir,   angin putting beliung , banjir , longsor, itu adalah  berita  keseharian masa kini.  Yang langka sekali di masa  lalu.

Apakah  yang ingin kutuliskan dalam  pikiranku di  keheningan ini? Menunggu  matahari surut di barat, hingga barulah terdengar  satu demi satu  dentuman musik dunia malamnya. Menutup siang yang  lengang dan  lesu. Bahkan gairah malampun tak  segempita  sejarahnya di masa-masa  tahun 1930an.


ILLUSTRASI FIKSI/NOVELETTE :
 gerimis Membingkai senja di Braga, 
berbagigagasan.blogspot.com. Illustrasi Fiksi by: masrierie/ME

OIL PAINTING ON CANVAS , BEAUTIFUL FLOWERS, , BY ME

Tak ada  pentas drama  dan  opera para bule  jelita, tak ada juga hentakan kaki kuda menghela  kereta ,   atau sepeda ontel tua  dikayuh  lelaki berpantolan cokelat , maupun  juragan  perkebunan dengan topi  kelabunya.

Tak ada juga  mobil –mobil  kebesaran kaum  penjajah  hilir mudik dan parkir di sekitar Bioskp Majestik , maupun  yang singgah sekedar minum dan bersantai di dalam  selimut kehangatan Gedung Condordia  putih yang kokoh.

Maison Bogerijen, restoran dan toko roti, es krim  dan pattiseri yang pernah menjadi  pusat  keramaian tempo dulu itupun tampak lunglai dan  renta. Berganti nama, namun  entah mengapa   sepi dan sepi selalu.  
Deretan  kebisuan sejarah. Arsitektur tua membungkam tanpa lonjakan emosi apapun.Aku melepas pandang ke arah  pelintasan jalan yang  begitu naif. Mereka pasti tak merasakan aura  masa silam yang luar biasa mengesankan, kisah-kisah  terindah pernah berjaya di sini.

Di kejauhan , emperan warna-warna  kanvas  berderet  dari kaum pelukis jalanan. Namun  warna dan polesan yang disampaikannya  begitu hidup dan sanggup menembus lapisan emosi manusia. Pesona kreatifitas seni emperan yang  tentunya   juga mewakili  suara-suara jiwa seniman dengan kekuatan dahsyatnya.


Musik jalanan tak lagi terdengar. Dentingan kecapi Braga Stone dari tahun 1970an dan awal 1980an sudah puluhan tahun tenggelam. Hanya deruan mobil di atas hamparan  batu andesit kelabu yang baru saja  terpasang setahun silam.  

Ada beberapa tempat yang pernah mencatat  ingatan, meski kadang samar, namun adakalanya begitu  tajam menusuk. Menuju  sebuah kafetaria tua  biasanya Mang Idi   memboncengku naik sepeda  kumbang hitamnya. Membeli roti tawar hangat yang sungguh harumnya membuatku  jadi sangat ingin menyantapnya.

Puluhan tahun silam. Mang Idi pegawai sebuah wisma milik  BUMN di mana kakekku mendapat tugas untuk menghuni sekaligus mengelolanya. Setiap hari jika tamu sedang membludak, ia akan membeli roti tawar berkualitas tersohor tersebut  di Bandung. Aku hanya bisa menelan liur belaka.

Mulai dari mengamati pelayan yang ramah itu mengeluarkan roti dari oven, lantas membungkusnya dengan kertas singkong daur ulang warna krem kecoklatan. Mang Idi memasukkannya ke dalam keranjang,  lalu menggantung di stang sepeda. 

 Kami melintasi jalan Merdeka, lalu jalan Dago yang teduh. Jika sudah tiba di gerbang wisma aku diturunkan. Dan berlari kecil menuju dapur. Di sana Bik Anah sang juru masak  akan mengiris-iris roti dengan pisau setelah mengupas kulitnya. Lalu memolesnya dengan mentega dan  menaburinya dengan gula pasir. Aroma mentega bercampur roti harum  menggoda selera tatkala Bik Anah mengolahnya jadi roti bakar. 

Tampaknya ia mengerti bahwa aku begitu menginginkan makan roti tersebut. Karena kasihan ,ia diam-diam memberiku kulit roti yang biasanya nanti akan dijemur dan ditumbuk jadi tepung roti untuk membuat kroket kentang. Menyantap kulit roti  saja bagiku sudah luar biasa nikmatnya. Apalagi Bik Anah akan  memolesi kulit roti tersebut dengan  mentega klasik  roombuter.

ILLUSTRASI FIKSI/NOVELETTE :
 gerimis Membingkai senja di Braga,
berbagigagasan.blogspot.com. Illustrasi Fiksi by: masrierie/me
ACRYLIC PAINTING ON CANVAS BEAUTIFUL FLOWERS, BY ME

Roti jalan Braga yang padat, mengenyangkan, harum  , gurih , agak manis dan teramat lezat. Pada masa  tersebut  roti  itu makanan istimewa, sama seperti mahal dan istimewanya makan telur dadar atau lebih istimewa lagi telur mata sapi. Apalagi daging ayam,  hidangan  yang  terlalu istimewa buatku.

 Braga oh Braga,  di sini kenangan  tak pernah  pupus di benakku (bersambung ke bagian 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar