Daftar Blog Saya

Minggu, 19 Juli 2015

NOVELETTE (4): GERIMIS MEMBINGKAI SENJA DI BRAGA

Simak cerita sebelumnya di bagian 3

Hingga  ketika Biyan  di masa batita dan balita, jika kumpul keluarga besar kerap menjahili  diriku. Ia merasa menjadi tamu ‘putra mahkota’  terhormat , bahkan  berkuasa seperti pemilik  rumah. Sementara  aku identik dengan tamu yang tak berhak dihormati. Tak diharapkan.  Tapi ribuan kali ibu ayahku menekankan,  jadilah pemaaf sejati.

Aku merasakan semua itu ayah, ketidak adilan, cemoohan, sindiran……dari saudara-saudaramu ayah….….tapi kau …kau  menumbangkan semua pendapat itu .

 Ayah dan ibu selalu menguatkan hatiku,  membesarkan hatiku, memberi semangat dan  nasehat kesantunan……Ayah,  membuatku untuk tegar sebagai pemaaf…

Ayah,  yang lebih objektif dan tidak emosional. Ayah dan ibu yang memiliki logika sehat, bukan emosional yang labil.

Aduhai masa silam,  dan  semua  kenangan yang  selalu tersimpan di setiap  jengkal jalan Braga ini.

Bayangan dalam sekeping kenangan, menari-nari di benakku... Ayah  dengan langkahnya menuntunku sepanjang trotoar jalan ini. Kami melewati toko-toko pakaian  . Usiaku masih 4 tahunan. 

Tahun 1968. Di hadapan sebuah toko mewah ayah dan aku  berpapasan dengan keluarga kaya teman ayah yang habis memborong pakaian. Ayah bertegur sapa dengan ramah

Teman ayah membawa istrinya dan anaknya. Aku lihat anak kecil itu menatapku  aneh, dan bibirnya mencibir  pakaianku. Dengan baju bekas  kakak sepupuku dari sebelah ibu (anak kakak perempuan ibuku) , dan sepatu  bekas kakak  sepupuku yang agak kebesaran, aku memang kepayahan berjalan kaki. Tadi di rumah ayah mengganjalnya dengan robekan koran dan kertas.

Saat diejek itulah, aku selalu yakin bahwa Tuhan akan menambah pahala dan keberkahan bagiku. Kata ayah, setiap kita dizalimi orang, dihina, difitnah,  disakiti, diejek, …sesungguhnya kita akan mendapat limpahan hadiah dari Tuhan. Pahala dunia akhirat, jadi jangan bersedih.

Ayah akan gembira melihat aku senang. Ketika kami hampiri kantin penjual es krim dan kue tart serta roti. Bagi kami,  jarang-jarang bisa makan enak begini.

Aku tahu kesederhanaan  kami. Keprihatinan hidup kami. Namun ayah mengajarkan  bagaimana untuk teguh dalam kerpihatinan   , tetap ceria,  sebab ayah ingin jadi seorang abdi negara yang jujur. Tidak mau mampang mumpung dan bermain nakal dengan uang rakyat, alias uang negara. Tidak mau pula memark up  harga apalagi  membuat  anggaran fiktif , tak mau bikin  proyek khayalan atau yayasan   bodong demi menimba kucuran  dana pemerintah alias uang rakyat.   Lalu ibu mencari tambahan dengan merintis usaha kuliner  dan  konfeksi. Merangkak dari nol. Hingga meraih sukses kelak.

Sungguh indah jalan Braga, karena aku tak peduli dengan tertawaan sinis anak kecil sebayaku itu. Ayah menuntunku memasuki  kantin  favoritku itu. Kami duduk di kursi besi dan sebuah meja bundar.

Lalu,  dengan sukacita  ayah  menuangkan segelas limun beserta  potongan es batu. Segelas es krim  dan  kue tart  yang lezat  ikut membuat mulutku belepotan. Ia tertawa dan dengan telaten mengeluarkan saputangan, melap  mulutku. Sentuhan jemari dan sayang  yang  selalu   menjadikan aku merasa hidup.

Jalan-jalan ke Braga,  rasanya seperti menuju sebuah dunia  mimpi yang indah. Aku tergiur melihat di etalase  bukan hanya baju-baju yang bagus. Tapi juga mainan-mainan dan boneka yang membuat aku   tercengang dan cuma bisa bermimpi memilikinya.Tapi ibuku perempuan rajin yang luar biasa. Ia bisa membuat boneka sendiri dari rumput, menjahit pakaianku meski dari kumpulan tambalan kain bekas. Tapi produknya tak seperti rombengan,  cantik sekali hasilnya. .

Di meja bundar kafetaria tua ini  , aku dulu mengeluarkan sesuatu dari tas yang aku bawa. Kertas stensil dan pensil  yang aku bawa dari rumah. Aku berdua ayah akan membuat sketsa keindahan Braga. Tempat mewah dan tempat orang kaya belanja. Tapi  ayah  selalu menyisihkan  sedikit uang dan kesempatan untuk membuatku  melonjak riang ,  karena es krim kesukaanku dan roti yang lezat.

Ayah tahu betul, bahwa aku selalu  tergiur kelezatan roti yang biasa dibeli Mang Idi,  namun aku harus menahan diri. Karena roti ini untuk tamu wisma.

Lain ketika ayah akan mendongeng di atas meja bundar itu. Entah berapa banyak imaji indah terlukis dalam benakku, merangkai kenangan. Tahun demi tahun, hingga kini usiaku  sudah menjelang tengah baya. Bukankah dulu ayah membuatku tumbuh sebagai seorang  penyuka seni yang  terkadang sulit dipahami oleh pasangan manapun.Tapi suamiku  orang istimewa  yang membuatku   merasa bak bintang dunia.

Seni membuatku merasa hidup. Melodi kehidupan yang tercipta,  beberapa karya di layar kaca dan layar lebar  telah mengantarku pada sebuah masa dimana kenangan tentang Braga ini hampir saja tenggelam.

Tiba-tiba  ada suara nyaring memecah lamunanku. Lamunan yang berantakan, tidak sistematis, tidak beraturan. Pikiranku yang berlompatan kepada babak-abak yang acak-acakan. Tentang  kehidupan keluarga besar nenekku, tentang kenangan manis bersama ayahku... Semua dari masa kanak-kanak...

Dan kini saat duduk melamun berkepanjangan, nyaring suara bocah itu mengembalikan kenyataan.  Sejumlah anak-anak kecil berlari menghampiriku , dan kurengkuh dengan cinta dan kasih sayang tanpa membedakan satu dan lainnya. Dan lelaki tua itu  mengiringi  kehadiran mereka.

“Eyang putri , mau roti enak  sama es krim Bandung  jaman dulu yang  diceritakan Eyang kakung…” para cucuku   duduk manis.

“Boleh-boleh,  sudah Eyang pesan. Sebentar Eyang matikan dulu laptopnya….. Coba kalian lihat , meja ini, dulu  tempat  almarhum Ayah Eyang suka menraktir  Eyang. Kursi dan mejanya masih sama seperti  46 tahun lalu. Rotinya masih sama seperti dulu……. Kue tartnya juga….Hanya jalanan dan suasananya yang berbeda….. Tapi,  kalian harus tahu, jalan Braga ini  penuh sejarah indah  masa kecil….. Tempat jalan-jalan Eyang putri bersama  Uyut…… “  pungkasku setelah  datangnya kue-kue berselimut coklat dan es krim klasik. (BERSAMBUNG KE BAGIAN 5)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar