Simak cerita sebelumnya di bagian 3
Hingga ketika Biyan di masa batita dan balita, jika kumpul keluarga besar kerap menjahili diriku. Ia merasa menjadi tamu ‘putra mahkota’ terhormat , bahkan berkuasa seperti pemilik rumah. Sementara aku identik dengan tamu yang tak berhak dihormati. Tak diharapkan. Tapi ribuan kali ibu ayahku menekankan, jadilah pemaaf sejati.
Hingga ketika Biyan di masa batita dan balita, jika kumpul keluarga besar kerap menjahili diriku. Ia merasa menjadi tamu ‘putra mahkota’ terhormat , bahkan berkuasa seperti pemilik rumah. Sementara aku identik dengan tamu yang tak berhak dihormati. Tak diharapkan. Tapi ribuan kali ibu ayahku menekankan, jadilah pemaaf sejati.
Aku merasakan
semua itu ayah, ketidak adilan, cemoohan, sindiran……dari saudara-saudaramu
ayah….….tapi kau …kau menumbangkan semua
pendapat itu .
Ayah dan ibu selalu menguatkan hatiku, membesarkan hatiku, memberi semangat dan nasehat kesantunan……Ayah, membuatku untuk tegar sebagai pemaaf…
Ayah, yang lebih objektif dan tidak emosional. Ayah
dan ibu yang memiliki logika sehat, bukan emosional yang labil.
Aduhai masa
silam, dan semua
kenangan yang selalu tersimpan di
setiap jengkal jalan Braga ini.
Bayangan dalam sekeping kenangan, menari-nari di benakku... Ayah dengan langkahnya menuntunku sepanjang
trotoar jalan ini. Kami melewati toko-toko pakaian . Usiaku masih 4 tahunan.
Tahun 1968. Di
hadapan sebuah toko mewah ayah dan aku
berpapasan dengan keluarga kaya teman ayah yang habis memborong pakaian.
Ayah bertegur sapa dengan ramah
Teman ayah
membawa istrinya dan anaknya. Aku lihat anak kecil itu menatapku aneh, dan bibirnya mencibir pakaianku. Dengan baju bekas kakak sepupuku dari sebelah ibu (anak kakak
perempuan ibuku) , dan sepatu bekas
kakak sepupuku yang agak kebesaran, aku
memang kepayahan berjalan kaki. Tadi di rumah ayah mengganjalnya dengan robekan
koran dan kertas.
Saat diejek
itulah, aku selalu yakin bahwa Tuhan akan menambah pahala dan keberkahan
bagiku. Kata ayah, setiap kita dizalimi orang, dihina, difitnah, disakiti, diejek, …sesungguhnya kita akan
mendapat limpahan hadiah dari Tuhan. Pahala dunia akhirat, jadi jangan
bersedih.
Ayah
akan gembira melihat aku senang. Ketika kami hampiri kantin penjual es krim dan
kue tart serta roti. Bagi kami,
jarang-jarang bisa makan enak begini.
Aku tahu
kesederhanaan kami. Keprihatinan hidup
kami. Namun ayah mengajarkan bagaimana
untuk teguh dalam kerpihatinan , tetap
ceria, sebab ayah ingin jadi seorang
abdi negara yang jujur. Tidak mau mampang mumpung dan bermain nakal dengan uang
rakyat, alias uang negara. Tidak mau pula memark
up harga apalagi membuat
anggaran fiktif , tak mau bikin proyek khayalan atau yayasan bodong demi menimba kucuran dana pemerintah alias uang rakyat. Lalu
ibu mencari tambahan dengan merintis usaha kuliner dan
konfeksi. Merangkak dari nol. Hingga meraih sukses kelak.
Sungguh indah
jalan Braga ,
karena aku tak peduli dengan tertawaan sinis anak kecil sebayaku itu. Ayah
menuntunku memasuki kantin favoritku itu. Kami duduk di kursi besi dan
sebuah meja bundar.
Lalu, dengan sukacita ayah menuangkan segelas limun beserta potongan es batu. Segelas es krim dan
kue tart yang lezat ikut membuat mulutku belepotan. Ia tertawa dan
dengan telaten mengeluarkan saputangan, melap
mulutku. Sentuhan jemari dan sayang yang selalu menjadikan aku merasa hidup.
Jalan-jalan ke Braga , rasanya seperti menuju sebuah dunia mimpi yang indah. Aku tergiur melihat di
etalase bukan hanya baju-baju yang
bagus. Tapi juga mainan-mainan dan boneka yang membuat aku tercengang dan cuma bisa bermimpi
memilikinya.Tapi ibuku perempuan rajin yang luar biasa. Ia bisa membuat boneka
sendiri dari rumput, menjahit pakaianku meski dari kumpulan tambalan kain
bekas. Tapi produknya tak seperti rombengan,
cantik sekali hasilnya. .
Di meja bundar
kafetaria tua ini , aku dulu mengeluarkan
sesuatu dari tas yang aku bawa. Kertas stensil dan pensil yang aku bawa dari rumah. Aku berdua ayah
akan membuat sketsa keindahan Braga .
Tempat mewah dan tempat orang kaya belanja. Tapi ayah
selalu menyisihkan sedikit uang
dan kesempatan untuk membuatku melonjak
riang , karena es krim kesukaanku dan
roti yang lezat.
Ayah tahu betul,
bahwa aku selalu tergiur kelezatan roti
yang biasa dibeli Mang Idi, namun aku
harus menahan diri. Karena roti ini untuk tamu wisma.
Lain ketika ayah
akan mendongeng di atas meja bundar itu. Entah berapa banyak imaji indah
terlukis dalam benakku, merangkai kenangan. Tahun demi tahun, hingga kini
usiaku sudah menjelang tengah baya.
Bukankah dulu ayah membuatku tumbuh sebagai seorang penyuka seni yang terkadang sulit dipahami oleh pasangan
manapun.Tapi suamiku orang istimewa yang membuatku merasa bak bintang dunia.
Seni membuatku merasa hidup. Melodi
kehidupan yang tercipta, beberapa karya
di layar kaca dan layar lebar telah
mengantarku pada sebuah masa dimana kenangan tentang Braga ini hampir saja tenggelam.
Tiba-tiba ada suara nyaring memecah lamunanku. Lamunan yang berantakan, tidak sistematis, tidak beraturan. Pikiranku yang berlompatan kepada babak-abak yang acak-acakan. Tentang kehidupan keluarga besar nenekku, tentang kenangan manis bersama ayahku... Semua dari masa kanak-kanak...
Dan kini saat duduk melamun berkepanjangan, nyaring suara bocah itu mengembalikan kenyataan. Sejumlah anak-anak kecil berlari
menghampiriku , dan kurengkuh dengan cinta dan kasih sayang tanpa membedakan
satu dan lainnya. Dan lelaki tua itu
mengiringi kehadiran mereka.
“Eyang putri ,
mau roti enak sama es krim Bandung jaman dulu yang diceritakan Eyang kakung…” para cucuku duduk manis.
“Boleh-boleh, sudah Eyang pesan. Sebentar Eyang matikan
dulu laptopnya….. Coba kalian lihat , meja ini, dulu tempat
almarhum Ayah Eyang suka menraktir
Eyang. Kursi dan mejanya masih sama seperti 46 tahun lalu. Rotinya masih sama seperti
dulu……. Kue tartnya juga….Hanya jalanan dan suasananya yang berbeda…..
Tapi, kalian harus tahu, jalan Braga ini penuh sejarah indah masa kecil….. Tempat jalan-jalan Eyang putri bersama Uyut…… “
pungkasku setelah datangnya
kue-kue berselimut coklat dan es krim klasik. (BERSAMBUNG KE BAGIAN 5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar