Simak cerita sebelumnya di bagian 2
Usia 3 tahunpun aku sudah bisa merasakan apa arti ketidak adilan itu, dan karenanya aku kurang dekat dengan nenekku. Nenek berpihak pada Uak Rere, pamanku, bibiku, selalu tak berhenti mengkritik ibuku, menggali dan terus mencari kesalahan ibuku.
Usia 3 tahunpun aku sudah bisa merasakan apa arti ketidak adilan itu, dan karenanya aku kurang dekat dengan nenekku. Nenek berpihak pada Uak Rere, pamanku, bibiku, selalu tak berhenti mengkritik ibuku, menggali dan terus mencari kesalahan ibuku.
Terlebih ketika
usiaku beranjak 4 tahun, aku makin merasakannya. Nenekku seperti tak suka dengan keberadaanku.
Ketika usiaku 5 tahun, nenekku ingin memajang potret semua cucunya saat bayi.
Maka bibiku meminta foto-foto untuk dipajang di dinding, kepada uak ,
paman dan bibiku, kecuali kepada ibuku. Semua potret bayi cucunya dipajang, di
dinding depan kamar nenek, kecuali
potretku.
Diam-diam ibuku
terisak saat itu, aku datang ke pangkuan ibu. Lalu kuusap airmata ibuku. Kuperhatikan wajah teduhnya , tampak
teramat cantik , bagiku. Meski berselimut kepedihan, kekecewaan , dan menyembunyikan rasa sakit hati
bertubi-tubi. Ia tak tampak seperti wanita yang teraniaya, tapi aku tahu , mata ibu tak bisa menyembunyikan kepedihan
hatinya.
Bahkan ketika
Uak mencaci maki ibuku dengan bahasa pedas
dan dengan rasa gemas dan nafas terengah-engah . Uak Rere mahir memutar
balikkan fakta, berupaya habis mendiskreditkan ibuku, dan kelihatannya uak dan nenek ingin menghapus keberadaan ibuku dari keluarga
besarnya.Kalau perlu menjadikan ayahku
membenci ibuku dan menceraikan ibuku.
Betapapun ibuku
kelak mampu mendampingi ayah. Secara pribadi ibuku yang mandiri merintis usaha sendiri, hingga ibuku kelak menjadi pengusaha besar yang sukses, dan mengantar anak-anaknya
menuju pintu keberhasilan.
Bahkan menurut cerita teman ibu, bahwa ibuku wanita santun yang
jadi rebutan banyak lelaki. Ibuku
memiliki
kharisma tersendiri dan pekerja keras yang kreatif cerdas. Justru hal itulah sesungguhnya yang
menyemai kebencian nenek dan uak serta
paman dan bibiku.
Namun tentu saja
mereka pantang mengemukakan alasan
kebencian mereka secara jujur. Mana mau
mereka bilang cemburu pada ibuku.
Keangkuhan membuat mereka malah menyemai seribu
satu alasan lain. Untuk menutupi kedok kedengkian di hati mereka. Alasan yang mereka cari dan gali , alasan
yang justru memojokkan ibuku. Alasan yang mereka besar-besarkan dan ada-adakan, sehingga tampak dahsyat.
Tapi ibuku berkata,
jangan pernah membalas kejahatan mereka. Ajaibnya mereka yakin bahwa mereka tak
jahat. Mereka menipu diri sendiri,
dan justru mensugesti dir, bahwai ibukulah yang
jahat. Jangan membalas, kata ibu, lebih baik serahkan kesedihan hanya kepada
Tuhan.
Sejak kecilpun
aku sudah merasakan apa makna ketidak adilan itu. Tapi ayah ibuku mengajari
aku makna bersabar, dan betapa besarnya kekuatan Tuhan jika kita sabar lalu minta perlindunganNya.
Betapa pentingnya untuk menjadi kuat dan memaafkan. Memaafkan, itulah pelajaran yang
paling sulit.
Anak mana yang tak sedih hatinya ketika ibunya diperlakukan semena-mena,
ketika ibunya dizalimi. Termasuk kena
fitnah. Dan ketika anak itu sendiri merasakan imbas perlakuan nenek yang berat sebelah
itu. (BERSAMBUNG KE BAGIAN 4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar