Daftar Blog Saya

Minggu, 19 Juli 2015

NOVELETTE (3): GERIMIS MEMBINGKAI SENJA DI BRAGA

Simak cerita sebelumnya di bagian 2

Usia 3 tahunpun aku sudah bisa merasakan apa arti ketidak adilan itu, dan karenanya aku  kurang dekat dengan nenekku. Nenek berpihak pada Uak Rere, pamanku, bibiku, selalu  tak berhenti mengkritik ibuku, menggali dan terus mencari kesalahan ibuku.

Terlebih ketika usiaku beranjak 4 tahun, aku makin merasakannya.  Nenekku seperti tak suka dengan keberadaanku.

Ketika usiaku  5 tahun, nenekku  ingin memajang potret semua cucunya saat bayi. Maka bibiku meminta foto-foto untuk dipajang di dinding, kepada   uak  , paman dan bibiku, kecuali kepada ibuku. Semua potret bayi cucunya dipajang, di dinding depan kamar nenek,  kecuali potretku.

Diam-diam ibuku terisak saat itu, aku datang ke pangkuan ibu. Lalu kuusap airmata  ibuku. Kuperhatikan wajah teduhnya , tampak teramat  cantik , bagiku.  Meski berselimut kepedihan, kekecewaan ,  dan menyembunyikan rasa sakit hati bertubi-tubi. Ia tak tampak seperti wanita yang teraniaya, tapi aku tahu  , mata ibu tak bisa menyembunyikan kepedihan hatinya.

Bahkan ketika Uak mencaci maki ibuku dengan bahasa pedas  dan dengan rasa gemas dan nafas terengah-engah . Uak Rere mahir memutar balikkan fakta, berupaya habis mendiskreditkan ibuku,  dan kelihatannya uak dan nenek ingin  menghapus keberadaan ibuku dari keluarga besarnya.Kalau perlu menjadikan  ayahku membenci ibuku dan menceraikan ibuku.

Betapapun ibuku kelak mampu mendampingi ayah. Secara pribadi ibuku yang mandiri merintis  usaha sendiri, hingga ibuku kelak  menjadi pengusaha  besar yang sukses, dan mengantar anak-anaknya menuju pintu keberhasilan.

Bahkan  menurut cerita teman ibu,   bahwa ibuku wanita santun yang  jadi rebutan  banyak lelaki. Ibuku  memiliki  kharisma tersendiri  dan  pekerja keras yang kreatif  cerdas. Justru hal itulah sesungguhnya yang menyemai kebencian nenek dan uak serta  paman dan bibiku.
Namun tentu saja  mereka pantang mengemukakan alasan kebencian mereka  secara jujur. Mana mau mereka bilang cemburu pada ibuku.

Keangkuhan membuat mereka  malah menyemai   seribu satu alasan lain. Untuk menutupi kedok kedengkian di hati mereka. Alasan yang mereka  cari dan gali , alasan yang justru memojokkan ibuku. Alasan yang mereka besar-besarkan dan ada-adakan,    sehingga tampak dahsyat.

Tapi ibuku berkata, jangan pernah membalas kejahatan mereka. Ajaibnya  mereka yakin bahwa mereka tak jahat. Mereka menipu diri sendiri,  dan  justru mensugesti dir, bahwai ibukulah yang jahat. Jangan membalas, kata ibu, lebih baik serahkan kesedihan hanya kepada Tuhan.

Sejak kecilpun aku sudah merasakan apa makna ketidak adilan itu. Tapi ayah ibuku mengajari aku  makna bersabar, dan betapa   besarnya kekuatan Tuhan   jika kita sabar lalu minta perlindunganNya. Betapa  pentingnya  untuk menjadi kuat dan  memaafkan. Memaafkan, itulah pelajaran yang paling sulit.
Anak mana yang tak sedih hatinya  ketika ibunya diperlakukan semena-mena, ketika ibunya dizalimi.  Termasuk kena fitnah. Dan ketika anak itu sendiri merasakan imbas perlakuan nenek yang berat sebelah itu. (BERSAMBUNG  KE BAGIAN 4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar