Cerpen
Tgl 9 oktober 2013
Sahabat dari Dunia
Lain (1)
Sahabatku,
Kinandari namanya, wanita dari dunia lain. Teman bicara, kawan diskusi,
yang gemar datang di larut malam, terutama saat purnama
raya tengah benderang. Ia datang
membawa berbagai topik pembicaraan,
mulai dari masalah sosial, ekonomi, budaya , seni , sejarah, sampai ke urusan
teknologi masa kini. Aneh bin ajaib memang. Tapi begitulah kenyataannya.
Sahabat
satu ini, kerap menyodorkan ide-ide
segar, sekaligus mengilhami karya-karyaku. Sehingga sebagai penyair,
hampir kebanyakan puisi karyaku, dan fiksi yang kubuat, sebenarnya selalu berdasarkan ceritku dengan
sahabatku ini.
Kinandari, ada
kesamaannya dengan manusia. Ia kadang gembira, kadang sedih. Layaknya seorang
sahabat, kerap berbagi suasana hati
denganku. Adakalanya ia tergelak tawa
riang, senyum bahagia, lain ketika terisak sendu di hadapanku. Sangat manusiawi, meski
ia bukan manusia.
Aku
tak pernah bisa menyentuhnya, atau
menggenggam jemarinya. Sosoknya lebih menyerupai sebentuk bayangan , atau segumpal awan
yang berubah wujud menjadi bayangan mirip manusia. Kehadirannya juga menebar wangi bunga. Jika kusamakan dengan film-film horor, pantasnya
serupa dengan sosok hantu. Bedanya, wajahnya tidak mengerikan, matanya
teduh dan sayup, senyumnya tidak menyeringai, penuh kedamaian.
Selalu
kehadirannya mengejutkanku, kadang tiba-tiba ia sudah duduk di sampingku saat
aku di pejalanan. Bisa jadi kala aku
sedang menikmati sarapan dan makan malam di sebuah café ia menyapaku. Atau saat aku tengah duduk melepas pandang di
bingkai jendela hotel tempat berwisata.
Ia bisa datang di waktu berbeda , di tempat berbeda. Tapi waktu yang paling
sering ia muncul adalah di tengah malam,
saat purnama raya menerangi malam.
Ia mengajakku
berdiskusi , bertukar pikiran soal
kehidupan. Ia mengkritisi maraknya kepalsuan dan manusia yang semakin kehilangan nurani. Katanya, manusia semakin
tidak manusiawi, lebih condong berhati serigala.
Lain ketika ia katakan, manusia senang memakai topeng demi mengejar kesenangan dunia
semata, dan tak peduli lagi walau harus mengorbankan manusia lainnya. Mereka
berfoya-foya di atas kemiskinan dan penderitaan orang lain. Herannya, yang
tidak baik malah sering disanjung dan berbondong-bondong mendapat dukungan. Manusia
juga kadang seolah tampak tidak baik, dan orang sekitarnya menciptakan
kesan seolah ia tidak baik, tapi sesungguhnya justru dialah orang baik.
Kegusarannya
juga semakin tampak ketika ia bicara soal rivalitas yang tidak sehat, persaingan yang tidak fair, penilaian yang
tidak objektif di segala bidang. Bahkan sumber daya manusia yang semakin tidak terasah dengan baik.
“Tapi saya lebih aneh lagi, ternyata manusia
ada juga ya yang tinggal di negeri lain,
namanya negeri MINTA-MINTA”
“Banyak manusia mengatakan terpaksa mengemis
karena susah cari kerja, tapi ketika ditawari pekerjaan, malah tak memiliki
kemampuan apapun. Bahkan niat untuk bekerjapun tidak. Maunya pilih pekerjaan
yang enak, nyantai, tapi gajinya besar. Gengsi dan tak mau kerja kasar. Ada yang mengatakan saya tak punya uang untuk
sekolah, tapi ketika disekolahkan gratis, tidak serius….malas belajar, malas
berpikir, dan rendah daya juang…… Ada yang sudah diberi kerja, tapi tidak kerja
dengan disiplin dan sungguh-sungguh, kerja asal-asalan saja….. ”
“Manusia di negeri MINTA-MINTA juga aneh,
katanya tak punya uang buat makan, tapi buat beli pakaian mahal kok bisa ya?”
“Di negeri MINTA-MINTA yang suka menadahkan
telapak tangan bukan hanya orang miskin, tapi orang kaya juga. ……Minta fee,
minta komisi, minta uang dengar, minta uang suap, minta uang terimakasih…….”
“Pssssst,
sahabatku…..stop… stop… Berhenti menyindir bangsa manusia…. kadang kamu kelihatan begitu pemarah……, kadang
kamu bijak, kadang kamu seperti sifat
manusia, ceria, labil,….hanya saja kalau sedang menggebu-gebu seperti itu aku suka
cemas….. ” aku meredakan
ucapannya yang terkadang jadi terlalu lebai.
Sepertinya ia begitu gundah dengan segala ketidak adilan di alam manusia.
“Jangan dihentikan pembicaraanku. Aku masih
punya cerita, manusia dari negeri INJAK-INJAK. Sejumlah manusia lain , suka
mencari popularitas dan keberuntungan dengan memeras dan memperalat orang lain,
juga menunggangi orang lainnya. …. Mencuri ide dan gagasan orang, diakui
sebagai karya sendiri, haus pujian dan popularitas. Atau menggaji pegawai dengan upah sekecil mungkin
sambil menguras tenaganya semaksimal
mungkin…….”
“Lebih parah lagi negeri BABAD TANAH DAN AIR, yang
tanah suburnya digunduli, disulap jadi
belantara beton, ….tanahnya
keropos dan amblas lantaran disedot
habis-habisan air tanah dan minyak buminya, manusia begitu rakus
mengeksploitasi alam. , membabad dan membakar hutan, mengeruk mineral,
mencemari sungai dan laut…….”
“Stop stop…… Kinandari, ,
berhenti terus menyindir kami
manusia.. Tidak
ada yang namanya negeri MINTA-MINTA atau
negeri INJAK-INJAK….. tak ada negeri BABAD TANAH DAN AIR …… “
“Betul , itu memang sindiranku saja…..Gusar
aku dengan ketidak adilan…. “
Kinandari menggerutu.
“Lho, hantu
cantik, ketidak adilan itu di dunia manusia, kenapa harus kamu yang pusing?”
aku bertanya.
“Dari dulu aku sudah bilang aku ini manusia….
Sudah pasti aku merasa galau dengan
kondisi akhir zaman yang antara
kebenaran dan kebatilan semakin samar…
Sudah pasti aku tak nyaman… Rasanya aku ingin
bangkit menegakkan kebenaran… Tapi apa artinya aku, hanya seorang
gadis , belia, belasan tahun…… bukan
siapa-siapa… tak punya apa-apa……
Manusia kebanyakan….,” kembali ia menggerutu.
Aku tertawa geli. Sangat geli, inginnya
terpingkal. Tapi kutahan. Takut sahabat gaibku
tersinggung, karena wajahnya memang sedang tidak nyaman. Kalau ia tersinggung, aku takut ia
tak mau datang lagi menjadi sahabat
jiwaku. Tapi harus kuberanikan diri mengingatkannya.
“Kinan, maaf..maaaaf
sekali lagi. Aku hanya ingin
menyadarkanmu, sesekali kamu
keras kepala hantu cantik. Jelas-jelas kamu bukan manusia, kamu tidak
punya jasad seperti kami yang bisa disentuh. Kamu tak perlu makan, minum, …..
Kamu hanya sebentuk roh , yang melayang ke sana kemari, bisa muncul dimana saja, kapan saja, terutama di tengah malam…. Saat bulan purnama….” , aku mengingatkannya.
“Sejak lama aku kan sudah bilang, aku ini
manusia…Sekali lagi, camkan, aku bukan
hantu , bukan juga sosok gaib , AKU MANUSIA. Selama ini kamu suka membakar dupa, menyiapkan
sesaji bunga putih yang wangi, kamu bilang untuk menghormatiku… Aku tak perlu sesajen seperti itu. Rasanya gerah ketika orang
menyebut-nyebut aku sebagai sosok dewi
dari alam lain, atau cerita-cerita yang tak masuk akal….Karena aku manusia
biasa……, kamu sahabatku…. Ketika orang lain berlebihan menilaiku, menjadikan penampakanku
sebagai bahan mitos yang tak jelas, dilebih-lebihkan, justru aku berharap
sahabatkulah yang mengerti…. Aku ingin sebagai sahabat, kamu meluruskan , bawa
aku bukan mahluk dari dunia lain, tapi
manusia biasa….” Kinandari masih berkeras.
“Baik ,
baiklah, Kinandari, penampakanmu ini juga tidak masuk akal, aku
hanya ingin kamu sadar Kinan, bisa jadi dulunya
kamu manusia, tapi sekarang bukan lagi…..”
“Kenapa kamu tak pernah mau percaya kepadaku?
Kalau begitu , selamat tinggal sahabatku. Suatu saat nanti kamu akan berubah pendapat, dan
menghentikan sesajen-sesajen yang tak perlu
ini, dan kamu dengan leluasa akan mengatakan,
bahwa Kinandari itu manusia biasa…..”
“Tunggu Kinan,
kamu marah ya? Dulu , puluhan tahun silam, waktu waktu penampakan pertamamu di kediamanku,
di usiaku masih 11 tahun. Usiaku masih
kanak-kanak, kamu bilang aku bakalan
menjadi penyair . Kamu minta aku menulis puisi tentangmu….. Maka lahirlah
puluhan puisi yang terinspirasi persahabatan kita, syair yang aku tulis… begitu
banyak kamu mengilhami karya-karyaku…Aku
yakin, kamu mahluk dari dunia lain yang
tersesat ke alam manusia…. dan amnesia…. Menyangka bahwa kamu adalah manusia, karena kamu
terobsesi alam manusia……”
“Susah aku menjelaskan… Kamu tak percaya kalau aku
manusia, karena wujudku seperti segumpal awan, kabut, dan bayang-bayang. Karena
aku datang di usiamu 11 tahun, lalu
berlanjut , hingga usiamu 20tahun, 30 tahun dan selanjutnya. Aku beberapa kali minta
kau buatkan syair tentang diriku, kau membuatnya, lalu buku kumpulan puisi
itu meledak di pasaran…. Lalu kamu
berpikir aku adalah mahluk gaib pembawa hokie…. Tapi aku ingin berkata, aku ini manusia…. manusia biasa ……,” ucapannya
penuh keyakinan.
“Kinandari,
kasihan kamu sahabatku…. Sadarlah, siapa kamu. Aku punya teman paranormal, yang
mengatakan kamu titisan Dewi Bulan, atau
putri raja purbakala yang sudah tiada,
dan bukan manusia. Seorang familiku yang indigo juga mengatakan, kamu hantu
yang terjebak di alam manusia….. Manusia biasa tidak mungkin terus muda
umurnya, sejak aku usia 11 tahun
menyaksikan penampakan pertamamu. Dan sampai hari ini kamu tidak berubah
wujud, masih gadis belasan tahun. Aku beranjak remaja dan dewasa, tapi kamu
tidak…. Aku bisa melihat kamu, orang lain tidak….. Sadarlah Kinandari…..”
“Untuk
ke sekian kalinya , jujur saja, aku ini manusia. Tak apa kalau kamu tak pernah percaya. By the
way, terimakasih untuk persahabatan kita
selama belasan tahun, terimakasih untuk syair-syair indahmu….. Tahukah kamu, aku tak pernah absen membeli dan mengkoleksi
semua kumpulan syairmu…. , dan tolong buatkan syair lagi untukku, bahwa kau
sudi mengakui… aku ini manusia…,” Kinandari
menutup pembicaraan.
Aku melihat kesenduan di sorot matanya, kecewa. Tapi aku tak bisa mengamini ‘kebodohan’ Kinandari yang berkeras kepala, tak mau mengakui bahwa ia mahluk halus dari dunia lain..
Aku melihat kesenduan di sorot matanya, kecewa. Tapi aku tak bisa mengamini ‘kebodohan’ Kinandari yang berkeras kepala, tak mau mengakui bahwa ia mahluk halus dari dunia lain..
***
Semenjak
perdebatan itu, Kinandari lenyap ditelan waktu. Aku merasa sangat kehilangan,
nelangsa , sedih, dan menyesal. Tahun-tahun yang suram, Kehilangan sahabat dari
dunia lain, yang tersinggung karena ogah
disebut mahluk halus, inginnya
disebut manusia biasa.
Tapi aku tetap
menulis puluhan puisi, dimana saat
menulisnya aku selalu terkenang Kinandari.
Tak seorangpun tahu, dalam setiap permainan kata, aku tak
bisa menghapus Kinandari dalam
menulisnya.
Sampai di suatu senja yang suram,
aku dikejutkan oleh sepasang manusia
yang datang untuk santap malam menghampiri meja cafetaria pada satu penginapan.
Kebetulan
aku duduk di meja sebelahnya. Wanita muda tersebut
begitu mirip dengan Kinandari. Hanya sedikit lebih tua mungkin.
Jantungku
berdegup semakin kencang ketika lelaki di sampingnya itu memanggil dia dengan panggilan “Kinan”. Dan semakin berguncang
nafasku mendengar kata-kata seorang pelayan mengantarkan bingkisan kepada wanita itu.“Mbak Kinandari, ini ada titipan dari tamu yang datang kemarin……… dari
Ibu Desi..,” ujar pelayan tersebut.
Betulkah dia jelmaan mahluk halus sahabatku, menjadi manusia?
“Terimakasih…” wanita yang disebut sebagai Kinandari itu menerima benda dari pelayan tersebut. Mengembangkan sebentuk senyum.
Lembayung senja
semakin merah.
L
Ketika lelaki itu beranjak
meninggalkan wanita tersebut, mataku masih berupaya mencuri pandang. Ia tengah
memeriksa isi bingkisan yang baru diterimanya.
Tak lama
kemudian wanita itu mengemasi barang-barangnya melangkah ke arah lobby penginapan. Ia
berjalan perlahan, tiba-tiba terhenti langkahnya dan berbalik arah, berpaling
kepadaku. Wanita itu mendekatiku, dan tersenyum tipis
“Nirlambang, anda penyair bukan? Saya suka
dengan puisi-puisi anda. “ suara
itu, suara yang tidak asing lagi. Suara mahluk halus sahabatku.
“Kinandari….?
Kamu Kinandari? Betulkah?“
“Betul. Saya memang Kinandari, dan saya juga manusia. Manusia biasa…. Ada cerita yang ingin saya sampaikan, kali ini
saya tidak akan mengkritik kehidupan, tidak lagi mengkritisi keadaan dan lingkungan….
Saya ingin anda tahu, bahwa ternyata,
yang pertama harus saya kritik dan perbaiki…adalah diri saya sendiri dulu.
Memperbaiki kehidupan sangat mustahil tanpa memulai dengan membenahi moral sikap
dan perilaku diri saya sendiri….. Terimakasih sudah mau mendengarku…..selamat
tinggal penyair yang baik hati…..,”ia berpamitan. Menjauh, berjalan ke arah
lobby, menuju lapangan parkir, pergi bersama lelaki muda tadi.
Sejenak kugaruk
kepalaku, memijat keningku, mencubit
lenganku…Bukan, ini bukan mimpi . Ini jelas kenyataan, Kinandari baru saja
menyapaku dan pergi……….. Sahabatku dari dunia lain… Dan aku sudah kehilangan
dia, karena aku tak pernah mau mendengar
dan percaya kepadanya..
Aku tidak bermimpi, karena Kinandari memang manusia biasa adanya. Begitu nyatanya, meski sangat membingungkan, pertanyaan yang tak pernah terjawab sampai kapanpun…… (1982-2013)
Aku tidak bermimpi, karena Kinandari memang manusia biasa adanya. Begitu nyatanya, meski sangat membingungkan, pertanyaan yang tak pernah terjawab sampai kapanpun…… (1982-2013)
Cerpen:
Sahabatku Dari Dunia
Lain (2)
Pengakuan Kinandari
Cerita
Sahabatku dari Dunia Lain (1):
Penampakan bayangan seorang wanita bernama
Kinandari terjadi saat tokoh aku
(Nirlambang) berusia 11 tahun, dan berulang
terus saat ia sudah remaja, bahkan dewasa. Sahabat wanita dalam penampakan
tadi tidak ingin disebut sebagai mahluk
halus, dan selalu ingin diakui sebagai manusia. Sampai suatu ketika ,
Nirlambang dikejutkan oleh sesosok manusia bernama Kinandari. Manusia biasa. Tidak berwujud segumpal awan, atau sebentuk bayangan. Tapi manusia sungguhan.
Kinandari
yang kutemukan pada hari ini adalah manusia sejati. Bagaikan terjaga dari alam mimpi, wanita itu akhirnya duduk di hadapanku.
Ia bersedia membuat janji. Untuk menjawab semua misteri yang ia
toreh dalam kehidupanku. Betapa tidak, selama puluhan tahun aku memiliki
keyakinan bersahabat dengan sejenis peri dalam dongengan. Bahkan aku lebih suka menyebutnya sebagai bidadari dalam impian. Karena dalam setiap pertemuan
kami dulu, saat kami berbincang-bincang,
aku merasa ada di antara sadar dan alam
mimpi. Perbatasan dua alam yang
sulit kumengerti.
Dengan
mengenakan gaun batik , warna merah muda keunguan, ia tampak mengesankan.
Gerak-geriknya penuh kerendahan hati,
dan senyum tulus penuh penghormatan.
Kembali aku meyakinkan diri, bahwa aku
tidak sedang bermimpi.
Aku
bisa merasakan matahari pagi dari balik mendung, dan semilir angin sepoi-sepoi
menyapu wajahku. Harum daun mangkokan
dan bunga-bunga ilalang terhirup sampai
nafas terdalam. Tak ada harum bunga melati seperti biasanya dulu Kinandari datang di tengah malam saat purnama raya menerangi
sunyi.
Suaranya
sangat jelas menyerupai suara Kinandari yang selama ini aku kenal. Yang biasa
hadir dalam sebentuk bayang yang selalu didahului keharuman bunga melati. Hanya saja wajahnya
jauh lebih dewasa, kalau aku boleh katakan lebih menua. Aku bisa melihat
sepasang mata bijak, dari balik
kacamatanya.
Kami
sempat terkesima, membisu. Angin kencang dan mendung menjelang gerimis
pagi di bulan Januari. Duduk di
selasar bungalow pegunungan.
“Rasanya
seperti mimpi. Kinandari, ternyata kamu
betul-betul manusia sejati…… Bagaimana bisa? Selama ini kamu menjadi bahan
pembicaraan rekan paranormalku. Mereka
berkeras bahwa kamu adalah sosok dunia lain yang menjadi buah bibir dan cerita turun temurun…. ,” aku
kembali menggelengkan kepala.
“Mungkin,
yang menjadi buah bibir rekan paranormalmu bukan aku, ada sosok lain yang datang dari dunia lain sungguhan, tapi bukan
aku. Dan dia sama-sama wanita seperti aku, tapi bukan aku. Aku adalah aku, manusia sejati. “ Kinandari menggelengkan
kepala.
“Lalu,
yang ada dalam lukisan milik ayahku, kata ayah itu adalah Kinandari juga. Kata ayah, kamu juga berteman dengan
beberapa tokoh lainnya?” aku masih penasaran.
“Lalu
bagaimana semua itu bisa terjadi? Dan apa alasanmu untuk datang menemuiku dalam
wujud manusia ?” aku masih galau dan bingung.
“Tuan
Nirlambang. …. Akhirnya aku harus mengakhiri
persahabatan aneh kita, dengan sebuah jawaban. Jawaban dari teka- teki
yang selama ini pasti menggempurmu. Aku merasa
harus menghentikan beberapa keyakinan
dan kebiasaanmu itu….. membakar dupa di
tengah malam, menunggu purnama raya
keemasan. Harus kuhentikan kebiasaanmu menyiapkan sesajen bunga-bunga
wangi……….., yang kau pikir untuk
memanggilku….
Padahal sejak dulu itu tidak berfungsi……. Komunikasi antara kita adalah sejenis telepati yang sulit dipahami kebanyakan orang……… Kita bisa sama-sama berkomunikasi karena kau juga memiliki kemampuan langka serupa denganku…. ” Kinandari tampak mulai serius.
Padahal sejak dulu itu tidak berfungsi……. Komunikasi antara kita adalah sejenis telepati yang sulit dipahami kebanyakan orang……… Kita bisa sama-sama berkomunikasi karena kau juga memiliki kemampuan langka serupa denganku…. ” Kinandari tampak mulai serius.
“Tolong
jelaskan, siapa kamu sebenarnya Kinan? Bagaimana kamu bisa memasuki rumahku di
tengah malam dalam sebentuk bayangan…. Kamu bahkan sering bercakap-cakap dengan
mendiang ayahku semasa hidupnya….. Ayahku menceritakan tentang dirimu…..Waktu
itu aku masih kecil, herannya usiamu sudah remaja. Ayahku sangat mengenalmu, ……
Kalau menebak usiamu, dapat dipastikan
kamu lahir menjelang wafat ayahku. Saat
ayahku wafat, usiamu………?”
“Usiaku 6 tahun saat ayahmu wafat. Ayahmu seniman besar dan terkenal, semua orang tahu tahun dikala kabar duka cita
itu. Aku sedang berada di luar negeri , stasiun televisi asing memberitakan
kabar duka itu…….., ayah ibuku menyimak berita tersebut, aku masih sangat
kecil, tapi aku juga ikut mendengar khabar itu” Kinandari tersenyum kecut, dengan
mata berkaca-kaca.
Cerita
Kinandari
“Sangat
sulit aku menjelaskannya. Bahkan hingga detik ini, tak ada yang tahu kecuali
dirimu. Tidak juga orang tuaku, suamiku, dan anak-anakku sekarang. Kejadian misterius
itu terjadi saat usiaku masih belia, sekitar 16 menjelang 17 tahun. Aku tak tahu, dorongan apakah yang
membuat aku tiba-tiba memiliki
pikiran-pikiran aneh. Semacam ide-ide
gila. Di tengah malam bulan purnama begitu indah di langit.
Ada getaran
yang membuat aku yakin bahwa aku
bisa terbang…… Dan aku merasakan, bahwa
aku memang terbang.. mengawang-awang di semesta raya….. Menjangkau awan, di antara bintang dan cahaya rembulan……
Mungkin
karena kebodohanku, di usia belia,
dengan pengetahuan yang minim. Dengan pikiran dangkal, aku menganggap bahwa aku tengah memasuki alam
khayal , atau mungkin juga alam mimpi.
Sungguh
alam mimpi itu tampak indah sekali. Taman-taman
yang indah , telaga dan pancuran air terjun gemericik, dengan unggas angsa putihnya.
Bangunan-bangunan tinggi dengan peradaban masa lalunya.
Saat itu aku
tengah menembus waktu menuju masa silam.
Menyusuri istana-istana dalam sejarah. Bertemu dengan kehidupan di masa silam, termasuk beberapa
dari manusia di kerajaan masa lalu. Aku
juga menemui seniman-seniman besar pada masa tersebut. Termasuk pemahat patung.
Sungguh rasanya begitu leluasa melakukan
perjalanan lintas benua dan lintas waktu. Hanya tinggal memejamkan mata, aku
melakukannya.
Beberapa
di antara mereka ternyata bisa
melihatku. Mereka bertanya kepadaku, siapa aku. Tentu sulit aku
menjelaskan siapa aku. Kebanyakan dari
mereka menganggapku mahluk halus,
siluman, atau dewi dari negeri dewata.
Pernah aku
mendatangi masa dimana banyak seniman lukis realis naturalis banyak berkarya. Aku hanya terpana menyaksikan seorang pelukis yang matanya jelas-jelas menatap
wajahku. Pelukis yang berulang
kali aku datangi itu ternyata bisa melihatku. Tidak semua orang bisa menyaksikan kehadiranku.
Lantas
aku katakan kepadanya , dapatkah ia
mengingat wajahku? Tolong lukis wajahku di atas kanvas. Yang ada dalam
kepalaku, aku hanya ingin bukti, apakah
perjalananku ini nyata? Atau hanya
sekedar halusinasiku? Setidaknya
jika aku lebih sering meminta
seseorang yang bisa melihatku , untuk
melukis diriku, suatu saat dalam hidupku,
aku berharap menemukan jejak bukti tersebut.
Entah
berapa banyak orang yang bisa
menyaksikan diriku, yang kuminta untuk melukis dan membuat sketsa diriku.
Bahkan aku tak tahu, di tahun yang mana
aku datang. Manusia yang kutemukan ada yang di masa sangat silam. Atau
bisa jadi di masa depan. Aku sendiri bingung.
Dalam
satu malam saja aku bisa mendatangi
banyak tempat , banyak masa, dan beberapa
zaman yang berbeda. Sampai di suatu
masa aku bertemu dengan ayahmu di waktu
ia masih muda. Ayahmu adalah salah satu manusia yang bisa menyaksikan
kehadiranku. Ia bisa berkomunikasi
denganku. Bahkan ia merekam potret
diriku dalam lukisan.
Dengan
senang hati ia menyambutku setiap kami berbincang. Pada saat itulah kau ada di
rumah tersebut. Aku terkejut, melihat anak kecil berusia 11 tahun mungkin, yang memandangku dengan takjub. Anak kecil
adalah dirimu. Timbul keisenganku,
bercanda denganmu. Kamu bertanya
siapa aku? Jawabanku, aku bidadari dari timur. Karena setahuku anak-anak kecil
suka membaca dongeng. Biasanya anak kecil suka
kisah tentang dewi atau bidadari.
Aku
tak pernah menyadari, bahwa kamu adalah
manusia langka, yang bisa menyaksikan kehadiranku di larut malam. Bisa
berkomunikasi denganku lewat cara-cara tak masuk akal logika. Tanpa aku sadari,
kita sempat bersahabat. Selanjutnya aku
ingin meminta pembuktian jejak perjalanan anehku ini. Aku minta kamu
menuliskan puisi tentang diriku.
Soal
aku bisa mengatakan bahwa kau kelak akan
menjadi penyair besar, tentu saja aku bisa melakukannya. Karena aku menjumpai
di masa silam, dan aku berasal dari masa kini dimana memang kau sudah menjadi
penyair itu.
Dalam
tempo satu malam, aku bisa bertemu denganmu di berbagai masa. Baik saat engkau kecil, remaja, dan dewasa, Padahal itu aku lakukan dalam satu malam
saja. Itu sebagai jawaban, mengapa usiaku tetap sama, ketika kau melihat
penampakanku di berbagai rentang waktu.
Selanjutnya,
aku semakin dewasa. Dan mulai menyadari
kekeliruanku. Rasa bersalah yang besar karena aku telah meminta berbagai manusia di masa silam untuk melukis diriku,
dan menjadi tokoh penampakan di masa lalu. Mungkin karena
aku masih belia dan selalu ingin mencoba
serta bertualang. Tapi hari ini aku merasa itu sebuah kesalahan besar.
Aku mulai
ketakutan. Bagaimana kalau yang aku lakukan bukan sekedar khayal? Bagaimana
kalau itu kejadian sungguhan? Sungguh
rasanya aku berdosa jika memang aku
bermain-main dengan lintasan waktu.
Rasa
bersalahku semakin kuat ketika aku
membaca puisi-puisimu, yang kalau boleh kutebak, isinya mengisyaratkan pertemuan-pertemuan gaib kita. Setelah lama kejadian itu,
aku semakin dewasa. Aku sangat takut
jika orang yang pernah melihatku berpikir salah tentang diriku. Aku kian terkejut ketika kau juga menganggapku mahluk
halus, dan kau suka membakar dupa untukku. Lebih mengerikan kalau orang
menyediakan sesajen……
Karenanya,
tuan Nirlambang, ijinkan aku memohon maaf atas semua kesalahanku. Aku khilaf,
karena usiaku saat itu masih begitu
muda. Usia remaja yang kerap tak berpikir panjang. Bahkan orangtuaku
saja tidak tahu itu.
Dunia
terkadang memiliki peristiwa tak masuk
akal. Kita pernah mengalaminya. Kini aku
mohon, anggap semuanya sudah berlalu. Maafkan semua kesalahanku, seharusnya aku
tak melakukan semua itu……..
***
Bibirku
terkunci rapat, lidahku kelu membeku. Tak tahu apa yang harus aku lakukan.
Kinandari, nama itu juga suka disebut oleh almarhum ayahku. Ayah dan aku
sama-sama mengenalnya lewat cara yang tak masuk akal.
Kini
Kinandari hadir di hadapanku bukan sebagai sosok dari dunia lain. Bahkan
ia mengatakan, bahwa persahabatan aneh
di masa lalu adalah kesalahannya. Ia
meminta maaf berulang kali kepadaku. Dan memohon dengan sangat agar memegang
rapat rahasia ini. Bahkan rekan paranormalku saja tak mampu menjawab
pertanyaanku tentang Kinandari.
Aku
sempat merasa kehilangan Kinandari yang lama tak hadir dalam kehidupanku.
Dengan penuh harap aku membakar dupa dan
menyimpan sekeranjang bunga putih wangi untuk memanggilnya. Sejenis ritual yang
aku pikir tepat untuk memanggil sosok
gaib ke rumahku.
pertemuan kita, Randy Anwar 1985
Jawaban
dari akhir persahabatan kami memang tak
masuk akal. Hari ini ia memberikan semua penjelasan tentang keberadaannya.
“Aku
berharap semua kisah pertemuan-pertemuan
aneh itu, menjadi rahasia kita berdua saja. Kita tutup
sebagai lembaran lama . Lalu, dengan segala kerendahan hati, aku ingin mohon
maaf, bahwa aku pembuat kesalahan itu. Mau memaafkan aku?” sekali lagi
Kinandari memohon kepadaku.
Marah?
Merasa dipermainkan? Segala perasaan , kebingungan, rasa heran, berkecamuk jadi
satu. Dengan rasa berat aku mengangguk. Memaafkan adalah perbuatan yang dimuliakan Tuhan.
Tiba-tiba
senyumnya yang indah dan sejuk terkembang. Ia merunduk dan berterimakasih. Aku
melihat kebahagiaan di wajahnya.
“Terimakasih sudah memaafkan aku,” ia menghormat dan mohon
diri.
Tak
ada acara makan siang bersama, atau tanda-tanda persahabatan kami akan berlanjut. Ia sudah menjadi milik
anak-anak dan keluarganya. Di alam nyata
yang sesungguhnya.
Aku
masih diam mematung di sini berkawan sunyi. Sambil mengenang ketulusan hatinya,
aku beranjak pergi, kembali kepada dunia
dan kehidupanku. Kisah kami hanya akan terabadikan dalam fiksi yang
aku buat, dalam prosa liris, atau
kalimat-kalimat rindu di kumpulan syairku.
k
Tidak ada komentar:
Posting Komentar