Saya Akan Menjadi
Tamu yang Baik, Bagimu Ibu Tersayang
(ditulis jelang lebaran haji tahun 2012, di Bandung)
(ditulis jelang lebaran haji tahun 2012, di Bandung)
Sebentar
lagi lebaran haji . Saya sudah tak
sabar menunggu hari-hari berkumpul
keluarga besarku. Saya akan datang ke rumah ibu, membawa anak-anak dan
pasanganku.
Lalu saya
menceritakan ketidak sabaran itu saat bertamu
ke rumah sahabatku. Aku nyeletuk kepadanya, bahwa aku tak sabar ingin segera datang hari kumpul
keluarga itu. Sudah terbayang rumah ibuku, dengan harum ketupat dan opor ayam
buatannya. Lalu ibuku akan menyiapkan tumisan buncis dan petai yang pedas dan tak terlupakan.
Di sana saya akan
bebas ngerumpi seharian, tiduran, makan,
ketawa-ketawa dengan adik-adik dan sepupu. Bicara ngalor ngidul sambil
mengemil makanan. Sangat merdeka, tidak usah sibuk, betul-betul seperti raja.
kami
sekeluarga (suami dan anak saya) tidak datang dengan membawa perut lapar atau menumpang makan dan memberatkan mertua.
Justru kami berusaha membahagiakan mertua, dengan hadir di rumah mereka,
membawakan jamuan makanan bukan hanya
untuk kami sendiri, tapi juga untuk yang lainnya. Selain juga mmembawa bahan mentah masakan (beras, minyak goreng dlsbnya)
Akan tetapi, setelah menempuh jarak jauh
dari luar kota, dan membawa banyak
masakan, nyatanya saya tak bisa beristirahat. Begitu sampai di rumah mertua,tak
sempat duduk-duduk atau selnjoran. Bagaimanapun saya harus
langsung terjun ke dapur. Jika tidak,
bisa keteteran.
Mertua sudah menentukan daftar menunya
sendiri, dan sudah meminta saudara suami yang datang duluan untuk
belanja bahan mentah. Uang sumbangan dari suami saya rupanya dibelanjakan lagi .
Untungnya suami saya peka, ia paham betul
istrinya selalu ambruk dan sakit setiap habis pulang kumpul keluarga besar beberapa tahun
terakhir. Rupanya faktor usia membuat saya
lemah. Ternyata ia tahu betapa beratnya kerja saya. Karenanya ia inisiatif, ia mengajak rombongan
keluarganya mampir di restoran setiap
pulang ziarah. Maka sedikit ringanlah
tugas saya.
Namun ada saja yang mengomel. Rupanya merasa
kasihan kepada suami saya karena mengeluarkan uang lebih banyak untuk membayar makan di restoran.
Tapi sama sekali tidak ada rasa kasihan kepada saya.
* * *
Dalam perjalanan
pulang seraya menyetir mobil tiba-tiba
saya tersadar. Jangan-jangan saya termasuk tamu yang tidak tahu diri. Tamu yang datang tak kenal waktu, menumpang
makan dan mau enak sendiri? Bisa jadi,
karena terus terang saja, setiap lebaran saya
paling anti menjadi tuan rumah. Sebab pembantu saya pulang kampung.
Tiba-tiba saya
ingat ibu saya yang usianya 73 tahun. Ia tuan rumah yang baik.
Jika lebaran dan
lebaran haji, sengaja saya kabur sepagi mungkin memboyong anak-anak untuk menumpang
makan di rumah ibu saya, yang
sekota denganku.
Saya bisa
selonjoran di sana ,
dan anak-anak saya yang masih kecil
lepas karena banyak yang
mengawasi, para istri dari adik-adik saya. Bahkan urusan menyuapi anak jadi tugas para ipar. Soal makan, juga ibu saya
membayar 2 pembantu implan,
khusus untuk meladeni keluarga besar.
Pembantu tetapnya pulang kampung.
Tiba-tiba saya
teringat ibu saya yang sudah renta…. Aduhai kasihan sekali beliau.
Mumpung lebaran
haji ini pembantu saya tidak pulang. Saya belanja agak banyak ke pasar. Lalu
saya terjun ke dapur selama beberapa hari, minta ampun, ternyata melelahkan
juga. Saya memasak beberapa jenis masakan, dan menelepon ibu saya . Mengungkapkan menu makanan yang akan saya bawa.
Terdengar ibu
saya seperti kebingungan. Bukankah biasanya juga saya boro-boro bawa makanan, biasanya malah kalau
pulang dari rumah ibu selalu membawa
setumpuk makanan dan masakan untuk bekal di rumah sendiri. Jadi seharian libur memasak.
Saat kumpul
keluarga besar, saya kumpulkan adik-adik saya dan istrinya.
“Kasihan ibu kan sudah tua, Ayah
sudah pensiun, walaupun tabungannya banyak, sudah waktunya mereka istirahat.
Ibu dan ayah sudah waktunya dimanjakan oleh anak mantu yang sudah dewasa. Kita kunjungi mereka
tanpa harus membebani mereka dengan menyiapkan
menu buat kita. Saatnyalah kita
masing-masing membawa makanan siap santap setiap kumpul keluarga. ……….”
Ibu tiba-tiba
memeluk dengan hangat.
“Terimakasih
sayang…… sebetulnya ibu masih kuat
menjamu kalian semua anak cucu ibu… Tapi… ternyata bahagia juga ….. Ibu menyambut kalian tanpa pusing berbelanja memikirkan menu dan
memasaknya….. Ternyata enak juga ya
sayang…”
“Tentu saja BU,
menu untuk orang sebanyak ini kalau
ditanggung ibu sendiri ya terasa
beratlah… Lebih ringan kalau ditanggung oleh kami berlima….. “
Bagaimanapun, curhatnya Arni kepadaku, telah membangunkan
kesadaran dan kedangkalanku selama ini. Untung saja Arni bercerita kepadaku,
kalau tidak, alangkah kasihannya ibuku…..
“Maafkan aku
ibu, telah menyusahkanmu bertahun-tahun… Aku suka licik kepadamu, aku simpan anak-anakku ketika bayi dan
balita di rumahmu. Agar aku bisa
beristirahat dan berleha-leha, serta mengirit belanjaku, karena kau yang akan
memberikan jatah makan anak-anakku….
“ Maafkan aku
ibu. Aku biarkan engkau sibuk mengurusi anakku, mengawasi mereka bermain,
menyuapi mereka, memasakkan untuk anakku, menceboki mereka….. lalu aku bersama
suamiku jalan-jalan seharian…….. “
Padahal ketika saya kecil dulu, kau sudah begitu
dilelahkan oleh urusan mengurusku ketika bayi dan balita…. Kini alangkah
teganya saya menyuruhmu mengurusi anak bayiku dan anak balitaku, padahal
tubuhmu sudah renta……..” kupeluk ibu sambil terisak.
Tangan keriput
ibu membelai kepalaku.
“Aku akan menjadi tamu yang baik bagi ibu, tamu
yang membahagiakan, bukan tamu yang menyusahkan…..,” bisikku kepada ibu.
Wajah tua
yang teduh itu tersenyum bahagia. Ia
mulai menyantap masakanku. Oh, tiba-tiba
aku merasa bahagia yang tidak ada duanya, pertama kali dalam hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar