Lembayung
senja tiba-tiba memucat, berganti menjadi tetesan gerimis. Burung-burung berarak ke arah
rumpun bambu, tepat di ujung barat areal persawahan. Bocah kecil
itu masih terisak pedih. Anak perempuan itu tampak kebingungan.
Saat gerimis berubah menjadi gemuruh angin dan petir, tangisannya kian kelu. Dalam kecemasan bocah itu menatap kegelapan yang mulai menyelimuti persawahan itu. Tubuhnya menggigil kedinginan.
“Ibuuuuu… ibuuuu…,” isaknya sendu.
Dari kejauhan sebuah mobil terseok tepat di atas jalan aspal yang tak jauh dari persawahan. Mobil itu berhenti. Seorang lelaki muda membuka pintu dari balik kursi kemudi. Ia berlari ke arah bocah kecil itu, menggendongnya dan bergegas memasuki mobil. Spontan tangisannya kian mengeras.
“Yanka, ayah mencari-cari kamu, ya Tuhan,
untung ayah tahu kebiasaan ibu membawamu ke sawah, “ lelaki itu menjalankan mobilnya.
“Yanka mau ketemu ibu, Yanka kangen ibu,” tangisannya semakin mengiris-iris hati ayahnya.
“Ayah juga rindu ibu sayang, kita berdoa kepada Tuhan, supaya ibu cepat pulang”.
* * *
Cerita sedih itu , adegan memilukan tersebut, sangat
jelas terekam dalam ingatanku. Padahal usiaku saat itu masih 4 tahun. Yanka,
gadis kecil itu adalah aku. Dan lelaki muda itu adalah ayahku.
Itu adegan 25
tahun yang lalu. Sudah sangat lama, saat kota Bandung masih memiliki banyak areal persawahan. Dan banyak kompleks
rumah-rumah baru yang bersebelahan
dengan sawah yang indah.
Selanjutnya, Yanka, atau diriku yang kehujanan itu tetap sedih nelangsa. Kala itu, kami
pulang ke rumah yang berantakan bagai kapal pecah.
Adik bayiku, tidak ada di rumah. Ayah menitipkannya di rumah teman ibu. Aku dititipkan di rumah tetangga saat ayah ke kantor.Setelah ayah pulang aku dijemput.
Adik bayiku, tidak ada di rumah. Ayah menitipkannya di rumah teman ibu. Aku dititipkan di rumah tetangga saat ayah ke kantor.Setelah ayah pulang aku dijemput.
Entah , rasanya tak ingat sudah berapa lama ibu tak ada lagi di rumah kami. Tapi sore itu aku tak tahan lagi dititipkan di rumah tetangga. Hasratku kabur dari rumah tetangga tak tertahankan. Kaki keilku lari dan berlari ke areal sawah.
Biasanya , ibu kerap mengajakku jalan-jalan dan bermain ke lahan- lahan kosong tepian sawah. Kami menumpang duduk di pondok (dangau) beratap rumbia dan berlantai bambu. Ia bawa sebungkus nasi kepal , dan
menyuapiku di sana .
Tentang makan makan siang, pagi atau sore, ibu bisa menghabiskan waktuhanya untuk membujukku supaya tetap makan. Kadang aku mengulum nasi terlalu lama, sehingga tugas ibu menyuaoi aku bisa menghabiskan waktu lebih dari satu dua jam. Apalagi jika ada sayur yang masuk mulutku, semakin sulit aku makan. Lagi-lagi aku lihat wajah letih itu merayuku supaya tidak melepeh makanan.
Ingatanku tentang ibu, adalah keseharian rutinitasnya. Ada samar suara dari dapur sudah terdengar. Jauh sebelum azan
subuh berkumandang. Suara pompa air, dentingan piring periuk dan wajan. Atau suara tahu dan tempe di atas kompor.
Pernah aku terbangun dan ingin ke kamar mandi. Saat azan subuh ibu sudah memanaskan air sepanci besar di atas kompor, lalu dijerang ke dalam baskom. Untuk ayahku mandi.
Sebelum azan bahkan aku dapat menghirup bau masakan dan kopi panas untuk ayah. Meja makan sudah rapi dengan masakan lengkap. Seumur aku tinggal bersama
ibu, belum pernah ibu bangun pas azan , apalagi setelah azan subuh, dan belum pernah sekalipun terjaga menjelang matahari terbit. Ibu selalu dan senantiasa bangkit menuju dapur pasti saat hari masih gulita.
Bahkan aku belum pernah melihatnya tertidur kembali setelah semuaya beres. Jangankan tidur, duduk berleha pun hampir tak pernah. Karena aku akan memaksanya untuk terjaga menemani aku bermain, mengobrol denganku, atau membacakan aku cerita.
Jika ayah sudah berangkat kerja biasanya ibu
menyuci pakaian, ia mengajak aku menjemurnya. Paling seru saat bisa juga ikut-ikutan ibu membersihkan rumput, menanam sayuran dan bunga-bunga di halaman depan, menyapu lantai,
membersihkan selokan..
Sampai kisah sedih itu bermula. Ibu seperti tak lagi bertenaga. Aku jadi sering meraung-raung enangis karena ia kerap tak menggubris keinginanku untuk bermain di lapangan dengan sawah. Wajahnya pucat, ibu muntah-muntah. Ia juga kerap menangis diam-diam. Aku suka menyeka airmata ibu. Lalu
perut ibuku makin hari makin membesar, kata ibu ada adik di dalamnya. Lantas aku ikut ayahku ke rumah sakit. Dan aku sempat di titipkan di rumah uakku.
Wak Iren adalah kakak perempuan ayah. Entah kenapa
aku kurang suka padanya. Hatiku merasa ia kurang sayang kepadaku, dan suka
mengejek ejek dan menertawakan ibuku. Kadang aku lihat Wak Iren mencibirkan bibirnya ke arah ibu , saat ibu membelakanginya. Kenyataan buruknya, aku dititipkan di rumah Wak Iren. Lalu ayah menjemputku dan kami pulang ke rumah.
Ibuku lalu sibuk menyusui adik bayi. Memandikannya,
menyuapinya. Meski ia sering meringis kesakitan, dan matanya banjir oleh linangan kesedihan.
Aku merasa sedikit aneh, tetangga sebelah kami sehabis
melahirkan sampai seminggu
dibantu orang lain agar pulih kesehatannya.
Sementara ibuku, baru saja 2 hari pulang dari rumah sakit, sudah kembali rutinitas kerja. Malah sekarang ia seperti bingung dan kewalahan, antara menyusui Adik bayi, menyuapi aku, melayani ayah, mengurus rumah.
Sementara ibuku, baru saja 2 hari pulang dari rumah sakit, sudah kembali rutinitas kerja. Malah sekarang ia seperti bingung dan kewalahan, antara menyusui Adik bayi, menyuapi aku, melayani ayah, mengurus rumah.
Ayahku seperti biasa kembali sibuk bekerja. Pulang larut malam, bahkan sering
keluar kota .
Lama kelamaan aku merasa terlantar. Ibu sibuk mengurusi adik bayi , mengganti popok, menyusui, dan semua pekerjaan ibu yang tak ada habisnya. Sedih sekali, rasa kehilangan ibuku karena hadirnya mahluk manis , bayi mungil itu. Sayangnya aku merasa terbuang, aku kehilangan semua momen indah bersama ibu. Akibatnya, aku sering marah, menangis, menarik perhatian ibu dengan menjerit-jerit jika menangis.
Padahal adik bayiku juga sama-sama sedang menangis. Ibuku
seperti bingung dan pernah terpeleset jatuh gara-gara aku.
Ayah sering pulang malam, karena menari tambahan penghasilan dari kantor lain sepulang kerja. Pasti ayah juga letih, karenanya ayah tak pernah membantu menggendong adik bayi yang suka menangis tengah malam, juga tak membantu ganti popok di malam hari.
Ayah sering pulang malam, karena menari tambahan penghasilan dari kantor lain sepulang kerja. Pasti ayah juga letih, karenanya ayah tak pernah membantu menggendong adik bayi yang suka menangis tengah malam, juga tak membantu ganti popok di malam hari.
Sekali waktu nenekku menginap di rumah kami. Malamnya adik bayi menangis-nangis, ibu tampak kelelahan. Ia mengganti popok, menceboki adik bayi, menyusuinya.
“Andre,
sebagai lelaki kamu sudah mencari nafkah, jadi kalau istrimu bangun
malam , itu sudah memang tugas dia. Sudah kewajibannya… Bukan tugasmu membantu
istri bangun malam, “ suatu saat aku mendengar Eyang Putri, ibu dari ayahku .
Lain ketika, aku pernah mendengar percakapan Eyang
Putri dengan kerabatnya, ia menyebut-nyebut nama Vanya. Vanya adalah nama panggilan ibuku.
Pernah satu ketika kudengar obrolan Eyang Putri, dengan seseorang. Mungkin teman lamanya.
.
“Biar Vanya tahu, berumah tangga itu tidak seindah yang ia idamkan, berumah tangga itu harus mau capek. Yah, harus mencicipi susahnya. Terus terang, saya kehilangan Andre anakku sejak dia menikahi Vanya. Saya yang melarang mereka untuk menggaji asisten rumah tangga. Mereka harus berhemat. Itu jadi sebuah latihan untuk menantuku, belajar berumah tangga tanpa pembantu. Seperti saya hari ini. Semua saya kerjakan tanpa bantuan asisten rumah tangga. Padahal saya sudah tua. Meski kami hanya tinggal berdua , dengan suami saja. Tapi fungsi suami sebagai tempat sandaran hati dan jiwa tak ada, suami bukan teman curhat, hanya sandaran finansial saja. Itupun pas-pasan , maklum pensiunan.
.
“Biar Vanya tahu, berumah tangga itu tidak seindah yang ia idamkan, berumah tangga itu harus mau capek. Yah, harus mencicipi susahnya. Terus terang, saya kehilangan Andre anakku sejak dia menikahi Vanya. Saya yang melarang mereka untuk menggaji asisten rumah tangga. Mereka harus berhemat. Itu jadi sebuah latihan untuk menantuku, belajar berumah tangga tanpa pembantu. Seperti saya hari ini. Semua saya kerjakan tanpa bantuan asisten rumah tangga. Padahal saya sudah tua. Meski kami hanya tinggal berdua , dengan suami saja. Tapi fungsi suami sebagai tempat sandaran hati dan jiwa tak ada, suami bukan teman curhat, hanya sandaran finansial saja. Itupun pas-pasan , maklum pensiunan.
Andre anakku adalah tempat aku curhat, sebab suamiku boro-boro untuk curhat. Papanya
Andre itu galak, sebetulnya kalau bisa sih, saya tidak ingin serumah lagi
dengan papanya Andre, sudah capek mengurusi kerewelannya.
Inginnya saya pindah ke rumah Andre saja. Tapi tidak
sekarang, wong anaknya masih pada bayi
dan kecil, malah saya nanti harus ikut mengasuh cucu. Lagipula saya kecewa,
cucu saya dari Andre kok ya perempuan semua.
Ini salah istrinya. Dari dulu saya tidak suka Andre
menikah, maksud saya tunda dululah 1
atau 2 tahun lagi…..Laki-laki itu menikahnya tunggu di atas 30 tahun layaknya.. Umurnya masih terlalu muda waktu menikah, masih 25”
* * *
Aku tak begitu paham
apa yang terjadi saat itu, melihat ibuku jatuh terpeleset saat
ayah tak di rumah. Ibuku menangis seperti kesakitan. Tapi tiba-tiba ia menjadi
kuat dan bangkit berdiri ketika adik bayiku menangis. Seperti biasa, dan sudah terlalu biasa, wajah ibu tak pernah kering dari derai airmata. Dan hanya di hadapan ayah saja, ia tampak berupaya tak menangis, tegar dan kuat.
Semakin waktu bergulir , ibu kian berubah. Tak mampu lagi menghentikan tangis, bahkan saat ayah sudah berada di rumah. Ayah tampak geram dan menahan amarah, karena ibu menangis bahkan di larut malam. Tanpa sebab yang jelas.
Saat ayah berangkat kerja, drama itu terjadi lagi. Adik bayi kerap rewel menangis, aku ikut menangis, dan akhirnya ibuku hanya diam di sudut ruangan, terduduk sambil terisak-isak sendirian. Tak melakukan apa-apa. Sampai akhirnya tetangga sebelah datang, menggendong adik bayi dan memeluk aku erat-erat. Ibu membanting semua barang di rumah sampai hancur.
Rasa takut mengepungku, ibu menangis sambil menjerit-jerit, ia mengamuk. Kusaksikan ibu di balik terali besi dengan tangan terikat. Aku sedih sekali,
kutahan tangisku. Ayah menggendong adik bayi , tetangga kami menuntun tanganku.
Kami meninggalkannya di sana. Tatap matanya kosong, mata yang tak berhenti menangis itu, menangis dalam sunyi dan kesendirian. Menangis tanpa ada seorangpun yang menyeka airmatanya, apalagi mendekapnya dan melindunginya saat sedih dan kelelahan. Tak seorangpun, bahkan ayahku juga tidak.
Kasihan ibuku. Ia membisu dan tak mengenalku. Dengan perasaan tak karuan , aku pulang bersama ayah, meninggalkan ibu sendirian, bersama orang-orang yang tegah berjuang untuk sembuh juga, di Rumah Sakit Jiwa.
* * *
Demikian yang harus aku kisahkan tentang awal mulanya kisah sedihku dalam badai dan hujan senja itu. Kenapa aku dititipkan ke rumah tetangga, kenapa adik bayiku juga dititipkan. Kami seperti sebatang kara.
Ayah mengeringkan tubuhku dengan handuk. Pasti ayah bingung, ia terbiasa dilayani ibu. Pasti ayah kewalahan, ia biasa tahu beres semua urusan anak. Alih-alih ayah menyesali telah mengabaikan ibu, malah ia sempat berdiskusi dengan Eyang Putri, untuk menceraikan ibu. Dulu, di masa kecil, aku tak mengerti apa itu menceraikan. Dulu aku tak marah, ketika banyak orang yang menyalahkan ibu.
Namun tetap hati nurani selalu merindukan ibu. Nelangsa tanpa ibu di sisiku.
Sehabis peristiwa
hujan badai senja itu, kami kedatangan tamu. Aku menyebutnya Nenek
Dini, adik sepupu alm nenek pihak ibuku , bibi dari ibuku. Ibu memanggilnya Tante Dini. Biasanya, dulu sekali dia suka bertamu dan bercengkerama
dengan ibu. Sayangnya sejak pindah ke luar kota yang lumayan jauh, beliau tak pernah lagi menyambangi kediaman kami.
Nenek Dini terkejut, sangat marah saat itu. Mengetahui ibu tak ada di rumah bersama kami. Hari Minggu pagi, ayah mengajak kami dan Nenek Dini menjeguk ibu. Mata ibu masih hampa, diam seribu bahasa. Melihat ayahku tanpa ekspresi, tapi melihat adik bayi dan aku, ia tetap diam, dan airmatanya mengalir deras. Bahkan ia tak mengenal Nenek Dini.
Dalam perjalanan pulang, Nenek Dini menggendong adik bayi sambil mengelus-elus rambutku. Sepanjang jalan, terus menitikkan air mata.
“Andre, sebagai
suami, cobalah untuk bijak. Istrimu bukan gembel yang kau pungut di jalanan. Ia
berpendidikan dan memiliki potensi karier gemilang.
Pengorbanannya melepas karier untuk menjadi istrimu hargailah.
Ia merasa
dirinya bukan lagi istri, tapi pembantu. Ibumu, kakak-kakakmu, marah kalau kalian punya pembantu. Tapi keterlaluan juga
sih. Namanya orang punya bayi dan anak balita, dia juga manusia dong, bukan
kuda.
Ia pasti capek iyalah. Dia manusia, bukan mesin. Apalagi sebagai suami kamu sering pulang larut malam dan ke luar kota .
Orang lain kalau tak punya pembantu, ya suaminya
bantu-bantulah…. Kalau tak memungkinkan, apa salahnya membayar pembantu .
Memang ibumu suka mengkritik istrimu. Ibumu selalu
memuja dirinya sendiri, kehebatannya,
ibumu bilang , dia juga dulu tak punya
pembantu. . Mungkin maksudnya, kalau dia susah, menantu juga harus merasakan susahnya dia. Meski istrimu
punya 2 balita.
Lho, bukannya
ibumu walau tak punya asisten rumah tangga, tapi kesehariannya dibantu oleh mertua, orang
tua, kakak dan adiknya???
Tenaga mereka apa bedanya dengan tenaga pembantu???
Yang namanya adik ibumu, mertua ibumu, dan orangtua ibumu, itukan
membantu. Ya sama saja dengan tenaga pembantu. Lagipula , kalian kan tidak minta siapa-siapa untuk urusan rumah tangga. Uang sendiri, lain halnya kalau ekonomi kalian ditopang oleh orang tua.
Tenaga mereka apa bedanya dengan tenaga pembantu???
Yang namanya adik ibumu, mertua ibumu, dan orangtua ibumu, itu
Mana
fungsimu sebagai suami, tak melindungi istrimu?
Lalu setiap berkumpul keluarga besar , istrimu seperti mesin yang terus menerus memasak karena masakannya untuk orang yang begitu banyak.
Yang bener sedikit dong, dimana-mana juga orang kalau menikah ya ingin bahagia.
Lalu setiap berkumpul keluarga besar , istrimu seperti mesin yang terus menerus memasak karena masakannya untuk orang yang begitu banyak.
Yang bener sedikit dong, dimana-mana juga orang kalau menikah ya ingin bahagia.
Cari ke
ujung dunia sana, ada tidak orang siap dijadikan istri, karena ingin susah. Apalagi demi mengabdi mengurusi keluarga besar yang jumlahnya puluhan tak sedikit. Mana rasa perikemanusiaanmu? Ada orang mau dijadikan istri yang punya cita-cita ingin mengurusi selain suami anak dan rumah sendiri?
Kebanyakan ya maunya mengurus suami dan anak sendirilah. Di luar itu, yah pengabdian juga, tapi tidak keterlaluanlah, sebagai ibadah sajalah, bukan keinginan.
Kebanyakan ya maunya mengurus suami dan anak sendirilah. Di luar itu, yah pengabdian juga, tapi tidak keterlaluanlah, sebagai ibadah sajalah, bukan keinginan.
Dimana-mana
juga orang mau dijadikan istri yang
ingin dibahagiakan, bukan ingin disusahkan…. Apalagi untuk dikerjain, yang mana ada yang mau dibegitukan.
Lagipula,
Vanya keponakanku itu berhenti berkarier, demi
untuk anak dan suamilah. Bukan untuk disuruh sering-sering melayani keluarga besar, ... .... Bukankah kamu yang menyuruhnya berhenti
bekerja?
Lantas kalau
berhenti bekerja, wajib menjadi babu di rumah sendiri? Dilarang punya asisten rumah tangga alias pembantu ? Lalu setiap kumpul keluarga besar, ia bertugas memasak dan melayani orang yang tak sedikit itu
jumlahnya. Dan intensitasnya lumayan sering ternyata ya.....????? .
Maaf ya, kalau boleh usul. Katakan kepada mereka yang selalu ingin dilayani, suruh bayar saja pembantu, bukan keponakan tante yang dikerjain. Jangan pedit ah. Yang
bener aja, tenaganya kan terbatas…. Mana perikemanusiaan ?
Atauuuu,
kalau mau menghemat tidak mau bayar
pembantu, suruh saja semua anak lelaki di keluargamu memperistri
pembantu….Jadi bisa berhemat ya.
Jadi
sekarang setelah dia gila, kamu mau membuangnya begitu saja? Coba introspeksi
diri, istrimu susah karena terlalu
lelah, sakit, belum lagi terus jadi
sasaran kebencian dan kedengkian ipar-iparnya. Ia pasti syok, meninggalkan dunia karier yang berlimpah kesejahteraan, dihargai oleh atasan, punya gaji lumayan, penampilan selalu modis, ada istirahat dan hari libur, bertemu dengan banyak orang di dunia luar sana. Bisa tertawa, bisa mengobrol.
Lalu semua berubah total.....Harus melayani. Kerja 24 jam, kurang tidur, tak kenal istirahat, tak ada kawan curhat dan diskusi, Tanpa gaji, tanpa pujian, tanpa penghargaan, susah istirahat, tanpa liburan. Tak sempat mengurus diri sendiri, hanya melayani.
Lalu....., pernahkan kamu sekali sekali saja kamu ucapkan kata terimakasih kepadanya? Sepelit itukah kamu?
Itu lho, saudara-saudaramu para pemalas itu. Yang sangat getol menilai-nilai dan menghakimi orang? Sangat piawai dalam soal mengulik membuat daftar kesalahan dan mengriktik orang lain serta tidak pernah bosan mencari-cari kesalahan
orang?? Kamu biarkan istrimu menangis dalam sunyi, sendirian, bukan hanya perilakumu yang tak berkemanusiaan membiarkan istrimu kelelahan sendiri mengurus kalian dan rumah kalian, tapi juga tangisan letih dan sedih karena ulah saudara-saudaramu itu..... ”
Nenek Dini berapi-api memarahi ayahku. Aduuhh,
kasihan ayah. Saat itu aku jadi membenci Nenek Dini.
"Maaf ya Tante, kalau tentang saudara-saudaraku, itu di luar jangkauan Tante. Siapa yang sanggup untuk mengubah manusia...... Memang faktanya begitu adanya. Seharusnya keponakan tante itu harus maklum saja.....,"
"Keponakan? Wanita cantik dan baik itu punya nama, Vanya .Dia rela menjadi istrimu, meninggalkan karier, mengubah dirinya. Melupakan hobinya, bahkan bertahun-tahun ia tak pernah kau ajak berekreasi yang pantas. Sesuatu yang dulu ia miliki , semua sudah ia lupakan demi kamu dan rumah tangga kalian. Dia rela menjadi bulan-bulanan iparnya sendiri......Andreee Andre, betul mereka itu di luar jangkauan. Tapi apakah kamu pernah mengucapkan kata maaf kepada istrimu, atas nama saudara-saudaramu yang tak pernah merasa punya salah dan selalu menyalahkan istrimu? Apa tak bisa kamu bilang maaf dan terimakasih kepada istrimu sekali sekali , atau satu kali saja dalam setahun???. Bahkan Tante yakin seyakin-yakinnya, saat istrimu sedih menangis kamu bukan jenis manusia yang akan merangkul dan menyeka air mata istri. Kamu sejenis lelaki yang tega membiarkan istri menangis sendirian, pasti Vanya merindukan dekapan seorang lelaki yang melindunginya....... Untung Vanya type wanita setia yang rela berkoban.......Padahal kamu sendiri tahu bukan, begitu banyak lelaki lain yang dulu memburunya ingin menjadikan istri........ Vanya bukan jenis wanita yang mudah berselingkuh.....padahal ia pasti sangat kesepian, ditambah lelah lahir batin, sampai jiwanya sakit dan kewarasannya hilang....Saat ia sedih , susah dan menangis,..... pasti dalam sunyi dan kesendirian....... Lalu kamu kemana saja? Malah kamu menjauhinya. .........Dengan gampang kamu jawab, wajar sajalah..... kan kamu sudah banting tulang di luar sana...cari nafkahlah....... Pulang-pulang dilarang mengganggu, termasuk istrimu....... dilarang mengganggu, ...... ."
Ayah masih diam. Nenek Dini suaranya bernada tinggi, pasti sangat marah kepada ayah. Saat itu , aku merasa tak suka ada orang yang mengomeli ayah. Aku hampiri ayah, ayah tampak mengusap airmata.
Jarang-jarang ayah menangis. Memang sih, aku pernah sekali saja melihat ayah menangis di hadapan ibu, kudengar , ayah berkata kepada ibu, ia menangis karena rindu Eyang Putri.
Biasanya ayah menangis tentang hal-hal yag berkaitan dengan Eyang Putri. Mana pernah ayah menangis karena ikut merasakan kesedihan ibu.
Kali ini ayah pasti menangis karena sedih diomeli Nenek Dini.
"Nenek Dini jahat..... Ayah menangis dimarahi nenek," aku memaki wanita tua itu. Ayah membiarkan aku memakinya. Sebaliknya nenek Dini malah memelukku.
"Maafkan nenek sayang.....,"
Sakit hati rasanya menyaksikan Nenek Dini mengomeli ayah. Tapi setelah aku dewasa berbalik , justru aku menghormatinya. Setelah akal dan
otakku jalan, yang aku benci justru mereka yang menyakiti ibu.
Aku masih kecil, tapi ingatanku kuat sekali merekam semua itu. Saat Nenek Dini, bibi dari ibu tersebut dengan
sangat marah menyalahkan ayahku.
* * *
PULUHAN TAHUN KEMUDIAN
Puluhan tahun sudah berlalu. Puluhan tahun silam juga, aku menyaksikan ibu
akhirnya pulang. Perlahan ia mulai bangkit pulih dan sehat, kembali
seperti Super Woman. Ibuku kembali menjadi Octopussy hebat.
Akhirnya ibu mulai sehat kejiwaannya. Nenek Dini
kerap mendampingi ibu, mengayominya. Katanya, ibu tengah merangkak berjuang keluar dari keterpurukan jiwa.
Setelah aku remaja, aku mulai bisa mendefinisikan masalah. Kata Nenek Dini,
ibuku terlalu sering jadi bahan celaan para ipar, dan ibu adalah wanita tegar. Ketika ayah kekurangan menafkahi kami, ibu sangat kreatif , ada saja jalan ia temui untuk menari penghasilan. Dulu di masa silam, belum ada media sosial,internet belum memasyarakat, belum ada Hape pintar android, tidak mudah mendapat kerja dan penghasilan yang bisa dikerjakan di rumah.
Ibu bagiku adalah wanita hebat. Ia menerima pesanan prakarya yang
dikerjakan di rumah. Sambil mengasuh
anak, mengajari anak pelajaran, memasak, menyuci pakaian, menyeterika, menyikat kamar mandi, menyapu dan mengepel lantai, mengurus halaman dan taman, menjalankan administrasi rumah tangga, menyetir antar jemput anak sekolah. Tanpa bantuan asisten /supir/tukang kebun dan yang lainnya.
Aku sering bangga kepada temanku, saat SMP temanku
bertanya, kenapa aku pintar matematik?
Karena ibu juga yang mengajarinya. Sementara ibu orang lain jarang-jarang ada
yang pandai mengajari pelajaran sekolah untuk tingkat SMP dan SMA. Paling
banter hanya mengajari pelajaran SD
sampai kelas 4 saja.
Ibu seperti
Octopusy dengan tangan yang banyak. Ia bisa melakukan banyak hal, ia jago berenang, ia juga pintar membuat
masakan, suaranya indah saat menyanyi, melakukan banyak hal yang ibu lain tak bisa melakukannya. Tapi kalau aku
boleh aku katakan, ibuku sangat rajin. Ya daya juang tinggi, rajin, gigih dan tekun.
Kini aku tahu mengapa ada orang membencinya.
Tentu mereka gengsi mengatakan benci ibu karena iri hati. Karenanya mereka
selalu mencari kesalahan dan kelemahan
supaya punya alasan untuk mencaci maki ibuku sepuas hatinya.
Ya, mereka rindu menemukan kesalahan ibu, agar mereka
bisa sepuas-puasnya melampiaskan kedengkian. Kedengkian yang dibungkus rapat
dengan tuduhan-tuduhan kesalahan dan kelemahan ibuku, yang mereka gali dan cari-cari, dan mereka goreng goreng lalu dibesar-besarkan.
Kata orang, waspada. Kedengkian dan iri hati bisa membuat
orang jahat semakin kalap dan nekad.
Jika ibu kekurangan uang, aku melihatnya bergadang
menjahit sulaman-sulaman prakarya yang
ia terima dari sebuah eksportir. Ia juga menerima jasa analisa keuangan dan
laporan pajak yang cukup banyak.
Ia kerjakan hingga larut malam, tapi tetap memasak, bangun dini hari, menyiapkan
bekal makan siangku untuk sekolah dan kuliah. Ia tetap melakukan pekerjaan rumah tangga.
Orang yang tak suka ibu tetap mencapnya,”Si Pelit, kurang
banyak memberi”. Padahal ibuku rela
kekurangan uang ketika ayahku harus berbagi dengan keluarga besarnya.
Tapi bukan berarti aku tak pernah bikin masalah juga menyusahkan ibuku sendiri.
Baru kusesali di masa kini, dulu aku ikut membebani ibuku.
Aku kerap marah dan tak puas dengan masakan ibu, lain kali aku kesal entah masalah apa saja. Tapi ibuku selalu penuh maaf, meski ia kadang menjadi keras karena ingin aku kuat dan tabah dalam hidup. Ia marah kalau aku cengeng dan patah semangat.
Aku kerap marah dan tak puas dengan masakan ibu, lain kali aku kesal entah masalah apa saja. Tapi ibuku selalu penuh maaf, meski ia kadang menjadi keras karena ingin aku kuat dan tabah dalam hidup. Ia marah kalau aku cengeng dan patah semangat.
Ya, saat itu, aku beranjak remaja dan jiwaku sedang
labil. Kasihan ibu, suka menjadi sasaran emosionalku juga. .
PULUHAN TAHUN SETELAH AKU BERKELUARGA
Waktu berjalan. Ibu mengantarku ke jenjang
pernikahan. Dengan bangga ia mendampingiku di pelaminan. Ia katakan, ingin aku bahagia.
Kemudian aku dianugerahi bayi. Oh Bahagianya. Tapi ,
di balik itu, ternyata memiliki bayi itu
berat. Kurang tidur, kurang istirahat, seolah duniaku sudah berakhir di kamar tempat aku mengurusi bayi. Siang dan malam.
Ya Tuhan, kini
aku baru merasakan semua kepedihan ibu. Aku baru tahu rasanya
mengurus bayi, dan apa artinya depresi paska melahirkan.
Aku baru tahu rasanya berat menghadapi kedengkian
para ipar. Tapi, aku sudah mendapat bekal , yakni dorongan semangat dan upaya ibu menyadarkanku untuk kuat.
Terus terang, aku rindu kepada ibuku. Sangat rindu.
Teringat ketika ibu menangis di balik terali rumah sakit jiwa. Ia menangis kelu dan terisak, tapi tak mengenalku. Pastinya, jiwa ibu saat itu remuk redam. Apalagi ayahku belum menyadari, bahwa perilaku ayah dan keluarga besar ayah, paling berkontribusi mengoyak-ngoyak kewarasan ibu.
Teringat ketika ibu menangis di balik terali rumah sakit jiwa. Ia menangis kelu dan terisak, tapi tak mengenalku. Pastinya, jiwa ibu saat itu remuk redam. Apalagi ayahku belum menyadari, bahwa perilaku ayah dan keluarga besar ayah, paling berkontribusi mengoyak-ngoyak kewarasan ibu.
Teringat ketika ibusering kelelahan. Banyak tahun
dimana ibu menahan kesakitan . Tapi ia tak mau sedikitpun kehilangan waktunya buat mengurusi kami. Aku ,
ayahku dan adikku. Ia abaikan kesempatan berobat karena terlalu sibuk mengurusi
kami.
Teringat ketika bagaimana ketegarannya menghadang
prahara . Kala ia dijadikan sasaran
fitnah paman, bibi dan uakku sendiri.
Teringat betapa ia memiliki segala kepandaian dan keahlian, yang ia gunakan untuk membantu cari nafkah, pada saat kami masih
belum berkecukupan. Betapa rajinnya ibuku. Tidak gampang berjibaku mencari nafkah sambil melakukan semua ururan rumah tangga tanpa asisten dan supir. Tanpa tukang kebun. Plus terjun mengajari anak yang kesulitan memahami pelajaran sekolah.
Dan yang paling sedih, teringat ketika ia akhirnya
menyerah pada sakit yang dideritanya. Kata ayah dalam pesan yang ayah kirim,
ibu seperti kehilangan semangat.
Aku terisak
malam ini. Terkenang kata-kata ibu.
“Kebahagiaan ibu, adalah jika kau menjadi manusia
yang disayang Tuhan. Tuhan sayang pada wanita yang kuat dan tabah, bertanggung
jawab, punya hati nurani, rajin, gigih menuntut ilmu, rajin bekerja dan beribadah, sayang kepada
ayah, adik dan siapapun jua.”
Bisikan ibu selalu mengandung optimisme.
Aku menggendong bayiku, anak ke 2 ku. Aku sudah
menjadi ibu dan baru bisa memahami
perjuangan ibu saat mengandung dan melahirkanku.
Apalagi , ketika ia mengandung aku di rahimnya , ayahku tugas lama ke luar negeri . Kasihan ibu. Pasti bukannya fisiknya saja yang sakit, tapi hatinya juga, jiwanya perih juga.
Apalagi , ketika ia mengandung aku di rahimnya , ayahku tugas lama ke luar negeri . Kasihan ibu. Pasti bukannya fisiknya saja yang sakit, tapi hatinya juga, jiwanya perih juga.
* * *
Malam itu aku
sangat rindu ibu. Tapi kami
terpaut jarak jauh, melintasi benua. Di seberang samudera rasa rindu kepada ibu semakin tak terbendung. Rasa bersalah menggempurku.
Aku menyesal dulu suka memakinya, dan membiarkan ia kelelahan sendiri di dapur .
Aku menyesal dulu suka memakinya, dan membiarkan ia kelelahan sendiri di dapur .
Jika kumpul keluarga besar ayahku, ibuku andalan
untuk menyiapkan masakan bagi seluruh keluarga besar selama beberapa hari.
Padahal saat itu diam-diam ibu sudah mulai sakit. Ia menahan kesakitan dan menyembunyikannya.
Kata dokter, usia ibu tinggal menghitung bulan. Ia
tak sadarkan diri. Begitu pesan dari ayah. Mataku basah. Tak sabar aku ingin pulang kembali ke tanah air. Di seberang samudera ini aku harus mendampingi suamiku bertugas. Beruntung akhirnya tiba waktu kami kembali ke tanah air .
Aku tertidur di sebelah bayiku. Menunggu
waktu pulang ke tanah air, aku rindu ibu.
Akhirnya waktu yang kunanti tiba. Kesempatan pulang
ke tanah air, melepas rindu kepada ibu.
* * *
Kami bergegas ke rumah sakit tempat ibu dirawat. Langsung setelah perjalanan berjam-jam dari bandara. Sudah kucatat nomor kamarnya.
Dan aku jatuh pingsan , karena ternyata ranjang dan kamarnya nya sudah kosong. Hanya tempat tidur yang rapih dan membisu. Dalam ketidak sadaranku, berkelebat mimpi-mimpi aneh. Mimpi buruk dan kenelangsaan batin. Semua menjadi sangat gelap.
“ Yanka
sayang, bangun nak…,” suara ibu. Ibu?
Oh, alam kematiankah ini. Bukankah ibu sudah tiada? Aku juga sudah mati?
Oh, alam kematiankah ini. Bukankah ibu sudah tiada? Aku juga sudah mati?
Perlahan mataku mulai menyapu ruangan.
Aku lihat suami, anakku, adikku, ayahku, semua ada.
Dan ibu…ya Tuhan, benarkah ini ibu? Ia membelai dan mengecup keningku. Rambut
memutih, kulit keriput, tapi ia tetap
cantik. Meski tampak letih dan lemah.
“Iya, alhamdulillah, ibu mulai sembuh nak……. .
Seperti kata ibu, kita tidak boleh menyerah pada kekalahan. Ibu harus kuat dan
sembuh untuk kalian, kasihan ayahmu , kasihan adikmu, kasihan cucu-cucu ibu…..”
Aku bersujud syukur ,memeluknya.
“Ibu.., kau memang Octopussyku tersayang, dengan
sejuta kekuatan yang entah selalu kau dapat darimana.. Pasti kau minta kepada
Tuhan…"
Ibu orang baik, yang berhati bersih, tapi tak pernah
berkoar mengaku-aku dirinya manusia berhati bersih, padahal hati ibu seputih pualam…..
Ibu…terimakasih ibu mau berjuang untuk sembuh. Yanka
sekarang sudah pulang bu, dan tak mau lagi jauh dari rumah ibu….. Maafkan
Yanka bu, kalau Yanka dulu suka
semena-mena pada ibu…Yanka kangen,” aku memeluknya sekeras mungkin.
Terimakasih Tuhan, aku masih bisa memeluk ibuku ,yang tangan keriputnya terasa lembut,
yang tulang lemahnya terasa menguatkan,
yang suara seraknya begitu merdu, yang
semangatnya selalu bersinar, untuk ayahku, untuk adikku, untuk cucu-cucunya.
“Yanka anakku
sayang, hidup ini pelajaran.
Jangan
menjadi bodoh. Ingat, ada batasnya
pengabdian mengurus orang lain di luar mengurus anak dan suami….
Karena kesehatanmu juga penting untuk
suami, anak-anakmu, mungkin cucu kandungmu sendiri kelak….Masa depan masih panjang......
Jangan
biarkan orang-orang menindasmu atas nama
pengabdian…….
Kalau kau
sakit, anakmu terlantar, apa kau
tega anakmu dalam pengurusan orang
lain? Jangan sampai pengalaman sedih ibu
terulang lagi……
Sebagai
pelajaran, jangan pernah menjadi manusia berwatak tidak adil dan sulit, jangan
pernah menindas orang lain .
Menolong
orang ada batasnya. Ketika orang yang kau bantu dulunya terlalu lama
bermalas-malasan.
Ketika orang
yang kau bantu terlalu lama berleha-leha , pikirkan baik-baik, sementara kauu
banting tulang sampai sakit….
Siapa lagi
yang akan menyayangi tubuhmu selain dirimu sendiri… Anak dan suamimu ingin kau
sehat
Jangan
pernah mengorbankan kesehatanmu untuk orang yang masa mudanya serta jam tidur yang terlalu panjang, yang jam kerja dan berjuangnya terlalu sedikit di masa silam.
Jangan pernah besar pasak daripada tiang, Sesuaikan belanja dengan penghasilan. Mandirilah dalam hidup anakku sayang.
Jaga kesehatan dirimu, suami dan anak cucumu membutuhkannya. Jangan berharap orang lain perduli dengan kesehatan dan kesejahtraanmmu, kebanyakan orang hanya perduli dirinya dan kelompoknya sendiri, walau harus mengorbankan orang dan kelompok lain.
Jangan sampai kita harus banting tulang di hari tua, padahal itu karena di hari-hari muda mereka , terlalu banyak jam santai dan tidur. Jangan sampai setelah kepepet tua baru kerja keras.
Jangan sampai kerja keras baru dilakukan menjelang usia senja, hampir terlambat.
Jangan sampai kerja keras baru dilakukan menjelang usia senja, hampir terlambat.
Dan orang seperti itu , biasanya takkan berhenti mengkambinghitamkan orang lain.
Terimakasih Ibu , untuk menjadi kuat karena aku anakmu. Tuhan menyayangmu , selalu , aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar