Daftar Blog Saya

Senin, 01 Juni 2015

CERPEN: Ibuku.... Sang Octopussy


Lembayung senja  tiba-tiba  memucat, berganti menjadi tetesan  gerimis. Burung-burung berarak ke arah rumpun  bambu, tepat  di ujung barat areal persawahan. Bocah kecil itu masih terisak pedih. Anak perempuan itu tampak kebingungan.
           

Saat gerimis berubah menjadi  gemuruh angin  dan petir,  tangisannya kian kelu. Dalam kecemasan  bocah  itu  menatap  kegelapan yang mulai menyelimuti persawahan itu. Tubuhnya menggigil kedinginan.

“Ibuuuuu… ibuuuu…,” isaknya  sendu.


Dari kejauhan sebuah  mobil terseok tepat di atas jalan aspal yang tak jauh dari persawahan. Mobil itu berhenti. Seorang lelaki muda  membuka pintu dari balik kursi kemudi. Ia berlari ke arah bocah kecil itu, menggendongnya dan  bergegas memasuki mobil. Spontan tangisannya kian mengeras.
           
“Yanka, ayah mencari-cari kamu,  ya Tuhan,  untung ayah tahu kebiasaan ibu membawamu ke sawah, “  lelaki itu menjalankan mobilnya.


“Yanka mau ketemu ibu, Yanka kangen ibu,” tangisannya  semakin mengiris-iris  hati ayahnya.


“Ayah juga rindu ibu sayang,  kita berdoa kepada Tuhan, supaya ibu cepat pulang”.

*  *  *


Cerita sedih itu , adegan memilukan tersebut, sangat jelas terekam dalam ingatanku. Padahal usiaku saat itu masih 4 tahun. Yanka, gadis kecil itu adalah aku. Dan lelaki muda itu adalah ayahku.

Itu adegan  25 tahun yang lalu. Sudah sangat lama, saat kota Bandung masih   memiliki banyak  areal persawahan. Dan banyak kompleks rumah-rumah baru yang  bersebelahan dengan sawah yang indah.

Selanjutnya, Yanka, atau diriku  yang kehujanan itu tetap sedih nelangsa. Kala  itu, kami pulang ke rumah yang berantakan bagai kapal pecah. 

Adik bayiku, tidak ada di rumah. Ayah menitipkannya di rumah teman ibu. Aku dititipkan di rumah tetangga saat ayah ke kantor.Setelah ayah pulang aku dijemput.

Entah , rasanya tak ingat sudah berapa lama  ibu tak ada lagi di rumah kami. Tapi sore itu aku tak tahan lagi dititipkan di rumah tetangga. Hasratku kabur dari rumah tetangga tak tertahankan. Kaki keilku  lari dan berlari ke areal sawah. 

Biasanya ,  ibu kerap mengajakku jalan-jalan dan bermain ke lahan- lahan kosong tepian sawah. Kami menumpang duduk di pondok (dangau) beratap rumbia dan berlantai bambu. Ia bawa sebungkus nasi kepal , dan menyuapiku di sana

Tentang makan makan siang, pagi atau sore, ibu bisa menghabiskan waktuhanya untuk membujukku supaya tetap makan. Kadang aku mengulum nasi terlalu lama, sehingga tugas ibu menyuaoi aku bisa menghabiskan waktu lebih dari satu dua jam. Apalagi jika ada sayur yang masuk mulutku, semakin sulit aku makan. Lagi-lagi  aku lihat wajah letih itu merayuku supaya tidak melepeh makanan.

Ingatanku  tentang ibu, adalah keseharian  rutinitasnya. Ada samar suara dari dapur  sudah  terdengar. Jauh sebelum azan subuh  berkumandang.  Suara pompa air, dentingan piring periuk dan wajan. Atau suara tahu dan tempe di atas kompor.

Pernah aku terbangun dan ingin ke kamar mandi. Saat azan subuh ibu sudah memanaskan air sepanci besar di atas kompor, lalu dijerang ke dalam baskom. Untuk ayahku mandi. 

Sebelum azan bahkan aku dapat menghirup bau masakan dan kopi panas untuk ayah. Meja makan sudah rapi dengan masakan lengkap. Seumur aku tinggal bersama ibu, belum pernah ibu bangun pas azan , apalagi setelah azan subuh, dan belum pernah sekalipun terjaga menjelang matahari terbit. Ibu selalu dan senantiasa bangkit menuju dapur  pasti  saat hari masih gulita.

Bahkan aku belum pernah melihatnya tertidur kembali setelah semuaya beres. Jangankan tidur, duduk berleha pun hampir tak pernah. Karena aku akan memaksanya untuk terjaga  menemani aku bermain, mengobrol denganku, atau  membacakan aku cerita.

Jika ayah sudah berangkat kerja  biasanya  ibu  menyuci pakaian, ia mengajak aku menjemurnya. Paling seru saat bisa juga ikut-ikutan  ibu membersihkan rumput, menanam sayuran dan bunga-bunga di halaman depan, menyapu lantai, membersihkan selokan..

Sampai kisah sedih itu bermula.  Ibu seperti tak lagi bertenaga.  Aku jadi sering meraung-raung enangis karena ia  kerap tak menggubris keinginanku untuk bermain di lapangan dengan sawah. Wajahnya pucat, ibu  muntah-muntah. Ia juga kerap menangis diam-diam. Aku suka menyeka airmata ibu. Lalu perut ibuku makin hari makin membesar, kata ibu ada adik  di dalamnya. Lantas aku ikut ayahku  ke rumah sakit. Dan  aku sempat di titipkan di rumah uakku.

Wak Iren adalah kakak perempuan ayah. Entah kenapa aku kurang suka padanya. Hatiku merasa ia kurang sayang kepadaku, dan suka mengejek ejek dan menertawakan  ibuku. Kadang aku lihat Wak Iren mencibirkan bibirnya ke arah ibu , saat ibu membelakanginya. Kenyataan buruknya, aku dititipkan di rumah Wak Iren.  Lalu ayah menjemputku dan kami pulang ke rumah.

Ibuku lalu  sibuk menyusui adik bayi. Memandikannya, menyuapinya. Meski ia sering meringis kesakitan, dan matanya banjir oleh  linangan kesedihan.  
Aku merasa sedikit aneh, tetangga sebelah kami sehabis melahirkan  sampai  seminggu  dibantu orang lain agar pulih kesehatannya. 

Sementara ibuku, baru saja 2 hari pulang dari rumah sakit, sudah kembali rutinitas kerja. Malah sekarang ia seperti bingung dan kewalahan, antara menyusui Adik bayi, menyuapi aku, melayani ayah, mengurus rumah. 

Ayahku seperti biasa kembali sibuk  bekerja. Pulang larut malam, bahkan sering keluar kota. Lama kelamaan aku  merasa terlantar. Ibu sibuk mengurusi adik bayi , mengganti popok, menyusui, dan semua pekerjaan ibu yang tak ada habisnya. Sedih sekali, rasa kehilangan ibuku karena hadirnya mahluk manis , bayi mungil itu. Sayangnya aku merasa terbuang, aku kehilangan semua momen indah bersama ibu. Akibatnya, aku sering marah, menangis, menarik   perhatian ibu dengan menjerit-jerit jika menangis.

Padahal adik bayiku juga sama-sama sedang menangis. Ibuku seperti bingung dan pernah terpeleset jatuh gara-gara aku. 

Ayah sering pulang malam, karena menari tambahan penghasilan dari kantor lain sepulang kerja. Pasti ayah juga letih, karenanya ayah tak pernah membantu menggendong adik bayi yang suka menangis tengah malam, juga tak membantu ganti popok di malam hari.

Sekali waktu nenekku menginap di rumah kami. Malamnya adik bayi menangis-nangis, ibu tampak kelelahan. Ia mengganti popok, menceboki adik bayi, menyusuinya. 

“Andre,  sebagai lelaki kamu sudah mencari nafkah, jadi kalau istrimu bangun malam , itu sudah memang tugas dia. Sudah kewajibannya… Bukan tugasmu membantu istri bangun malam, “ suatu saat aku mendengar Eyang Putri, ibu dari ayahku .

Lain ketika, aku pernah mendengar percakapan Eyang Putri dengan  kerabatnya,  ia menyebut-nyebut nama Vanya. Vanya adalah  nama panggilan ibuku.

Pernah satu ketika kudengar obrolan  Eyang Putri, dengan seseorang. Mungkin teman lamanya. 

“Biar Vanya tahu, berumah tangga itu tidak seindah yang ia idamkan, berumah tangga itu harus mau capek. Yah, harus mencicipi susahnya. Terus terang, saya kehilangan Andre  anakku sejak dia menikahi Vanya. Saya yang melarang mereka untuk menggaji asisten rumah tangga. Mereka harus berhemat. Itu jadi  sebuah latihan untuk menantuku, belajar berumah tangga tanpa pembantu. Seperti saya hari ini. Semua saya kerjakan tanpa bantuan asisten rumah tangga. Padahal saya sudah tua. Meski kami hanya tinggal berdua , dengan suami saja. Tapi fungsi suami sebagai tempat sandaran hati dan jiwa  tak ada, suami bukan teman curhat,  hanya sandaran finansial saja. Itupun  pas-pasan , maklum pensiunan. 
Andre anakku adalah tempat aku curhat,  sebab suamiku boro-boro untuk curhat. Papanya Andre itu galak, sebetulnya kalau bisa sih, saya tidak ingin serumah lagi dengan papanya Andre, sudah capek mengurusi kerewelannya.
Inginnya saya pindah ke rumah Andre saja.  Tapi tidak sekarang, wong  anaknya masih pada bayi dan kecil, malah saya nanti harus ikut mengasuh cucu. Lagipula saya kecewa, cucu saya dari Andre kok ya perempuan semua.
Ini salah istrinya. Dari dulu saya tidak suka Andre menikah, maksud saya tunda dululah  1 atau 2 tahun lagi…..Laki-laki itu menikahnya tunggu di atas 30 tahun layaknya.. Umurnya masih terlalu muda waktu menikah, masih 25”

*  *  *


Aku tak begitu paham  apa yang terjadi saat itu,   melihat ibuku jatuh terpeleset saat ayah tak di rumah. Ibuku menangis seperti kesakitan. Tapi tiba-tiba ia menjadi kuat dan bangkit berdiri ketika adik bayiku menangis. Seperti biasa, dan sudah terlalu biasa, wajah ibu tak pernah kering dari derai airmata. Dan hanya di hadapan ayah saja, ia tampak berupaya tak menangis, tegar dan kuat. 

Semakin waktu bergulir , ibu kian berubah. Tak mampu lagi menghentikan tangis, bahkan saat ayah sudah berada di rumah. Ayah tampak geram dan menahan amarah, karena ibu menangis bahkan di larut malam. Tanpa sebab yang jelas. 

Saat ayah berangkat kerja, drama itu terjadi lagi. Adik bayi kerap rewel menangis, aku ikut menangis, dan akhirnya ibuku hanya diam di sudut ruangan, terduduk sambil terisak-isak sendirian. Tak melakukan apa-apa. Sampai akhirnya tetangga sebelah datang, menggendong adik bayi dan memeluk aku erat-erat. Ibu membanting semua barang di rumah sampai hancur. 

Rasa takut mengepungku, ibu menangis sambil menjerit-jerit, ia  mengamuk. Kusaksikan ibu di balik terali besi dengan tangan terikat. Aku sedih sekali, kutahan tangisku. Ayah menggendong adik bayi , tetangga kami  menuntun tanganku. 
Kami meninggalkannya di sana. Tatap matanya kosong, mata yang tak berhenti menangis itu, menangis dalam sunyi dan kesendirian. Menangis tanpa ada seorangpun yang menyeka airmatanya, apalagi mendekapnya dan melindunginya saat sedih dan kelelahan. Tak seorangpun, bahkan ayahku juga  tidak. 

Kasihan ibuku. Ia membisu dan tak mengenalku. Dengan perasaan tak karuan ,  aku pulang bersama ayah, meninggalkan ibu sendirian, bersama orang-orang yang  tegah berjuang untuk sembuh juga, di  Rumah Sakit Jiwa.


*   *   *


Demikian yang harus aku kisahkan tentang  awal mulanya  kisah sedihku dalam badai dan hujan senja itu. Kenapa aku dititipkan ke rumah tetangga, kenapa adik bayiku juga dititipkan. Kami seperti sebatang kara. 

Ayah mengeringkan tubuhku dengan handuk. Pasti ayah bingung, ia terbiasa dilayani ibu. Pasti ayah kewalahan, ia biasa tahu beres semua urusan anak. Alih-alih ayah menyesali telah mengabaikan ibu, malah ia  sempat berdiskusi dengan Eyang Putri, untuk menceraikan ibu. Dulu, di masa kecil, aku tak mengerti apa itu menceraikan. Dulu aku tak marah, ketika banyak orang yang menyalahkan ibu. 

Namun tetap hati nurani  selalu merindukan ibu. Nelangsa tanpa  ibu di sisiku. 

Sehabis peristiwa  hujan badai  senja itu,  kami kedatangan tamu. Aku menyebutnya Nenek Dini,  adik  sepupu  alm nenek pihak ibuku  , bibi dari ibuku. Ibu memanggilnya Tante Dini. Biasanya,  dulu sekali dia suka bertamu dan bercengkerama dengan ibu. Sayangnya sejak pindah ke luar kota  yang lumayan jauh, beliau tak pernah lagi menyambangi kediaman kami.

Nenek Dini terkejut, sangat marah saat itu. Mengetahui  ibu tak ada di rumah bersama kami. Hari Minggu pagi, ayah mengajak kami dan Nenek Dini menjeguk ibu. Mata ibu masih hampa, diam seribu bahasa. Melihat ayahku  tanpa ekspresi, tapi melihat adik bayi dan aku, ia tetap diam, dan airmatanya mengalir deras. Bahkan ia tak mengenal Nenek Dini. 

Dalam perjalanan pulang, Nenek Dini menggendong adik bayi sambil mengelus-elus rambutku. Sepanjang jalan, terus menitikkan air mata. 

Andre, sebagai suami, cobalah untuk bijak. Istrimu bukan gembel yang kau pungut di jalanan. Ia berpendidikan  dan  memiliki potensi karier gemilang. Pengorbanannya melepas karier untuk menjadi istrimu hargailah.

Ia merasa dirinya bukan lagi istri, tapi pembantu. Ibumu, kakak-kakakmu, marah kalau  kalian punya pembantu. Tapi keterlaluan juga sih. Namanya orang punya bayi dan anak balita, dia juga manusia dong, bukan kuda. 

Ia pasti capek  iyalah. Dia manusia,  bukan mesin. Apalagi sebagai suami kamu sering pulang larut malam dan   ke luar kota. Orang lain kalau  tak punya pembantu, ya suaminya bantu-bantulah…. Kalau tak memungkinkan, apa salahnya membayar pembantu . 

Memang  ibumu suka mengkritik  istrimu. Ibumu selalu memuja dirinya sendiri,  kehebatannya, ibumu bilang ,  dia juga dulu tak punya pembantu. . Mungkin maksudnya,  kalau dia susah, menantu juga harus merasakan susahnya dia.  Meski istrimu punya 2 balita.

Lho, bukannya ibumu walau tak punya asisten rumah tangga, tapi kesehariannya dibantu oleh mertua, orang tua, kakak dan adiknya??? 
Tenaga mereka apa bedanya dengan tenaga pembantu???   

Yang namanya  adik ibumu, mertua ibumu, dan orangtua ibumu,  itu kan membantu. Ya sama saja dengan tenaga pembantu. Lagipula , kalian kan tidak minta siapa-siapa untuk urusan rumah tangga. Uang sendiri, lain halnya kalau ekonomi kalian ditopang oleh orang tua. 

Mana fungsimu sebagai suami, tak melindungi istrimu? 

Lalu   setiap berkumpul keluarga besar , istrimu seperti  mesin yang  terus menerus  memasak karena  masakannya untuk  orang yang begitu banyak. 

Yang bener sedikit dong, dimana-mana juga orang kalau menikah ya ingin bahagia.

Cari ke ujung dunia sana,  ada tidak orang siap dijadikan istri, karena ingin susah. Apalagi demi mengabdi  mengurusi  keluarga besar yang jumlahnya puluhan tak sedikit. Mana rasa perikemanusiaanmu? Ada orang mau dijadikan istri yang punya cita-cita ingin mengurusi selain suami anak dan rumah sendiri?

Kebanyakan ya maunya mengurus suami dan anak sendirilah. Di luar itu, yah pengabdian juga, tapi tidak keterlaluanlah, sebagai  ibadah sajalah, bukan keinginan. 

Dimana-mana juga orang  mau dijadikan istri yang ingin dibahagiakan, bukan ingin disusahkan…. Apalagi untuk dikerjain, yang mana ada yang mau dibegitukan. 

Lagipula, Vanya keponakanku itu berhenti berkarier, demi  untuk anak dan suamilah. Bukan untuk  disuruh  sering-sering melayani keluarga besar, ... .... Bukankah kamu yang menyuruhnya berhenti bekerja?

Lantas kalau berhenti bekerja, wajib menjadi babu di rumah sendiri? Dilarang punya asisten rumah tangga alias pembantu ? Lalu setiap kumpul keluarga besar, ia bertugas  memasak dan melayani orang yang tak sedikit itu jumlahnya. Dan intensitasnya lumayan  sering  ternyata ya.....????? . 

Maaf ya, kalau boleh usul. Katakan kepada mereka yang selalu ingin dilayani, suruh bayar saja pembantu, bukan keponakan tante yang dikerjain. Jangan pedit ah. Yang bener aja, tenaganya  kan terbatas…. Mana perikemanusiaan ?

Atauuuu, kalau mau menghemat tidak  mau bayar pembantu, suruh saja semua anak lelaki di keluargamu  memperistri pembantu….Jadi bisa berhemat ya. 

Jadi sekarang setelah dia gila, kamu mau membuangnya begitu saja? Coba introspeksi diri,  istrimu susah karena terlalu lelah, sakit, belum lagi  terus jadi sasaran  kebencian dan kedengkian  ipar-iparnya. Ia pasti syok, meninggalkan dunia karier yang berlimpah kesejahteraan, dihargai  oleh atasan, punya gaji lumayan, penampilan selalu modis, ada istirahat dan hari libur, bertemu dengan banyak orang di dunia luar sana. Bisa tertawa, bisa mengobrol. 

Lalu semua  berubah total.....Harus melayani. Kerja 24 jam, kurang tidur, tak kenal istirahat, tak ada kawan curhat dan  diskusi, Tanpa gaji, tanpa pujian, tanpa penghargaan, susah istirahat, tanpa liburan. Tak sempat mengurus diri sendiri, hanya melayani. 
Lalu....., pernahkan kamu  sekali sekali saja kamu  ucapkan kata  terimakasih kepadanya? Sepelit itukah kamu?

Itu lho, saudara-saudaramu para pemalas itu. Yang sangat getol menilai-nilai dan menghakimi orang? Sangat piawai dalam soal mengulik membuat daftar kesalahan dan  mengriktik orang lain serta  tidak pernah bosan mencari-cari kesalahan orang??  Kamu biarkan istrimu menangis dalam sunyi, sendirian, bukan hanya perilakumu yang tak berkemanusiaan membiarkan istrimu kelelahan sendiri mengurus kalian dan rumah kalian, tapi juga tangisan letih dan sedih karena ulah saudara-saudaramu itu..... ”

Nenek Dini berapi-api memarahi ayahku. Aduuhh, kasihan ayah. Saat itu aku jadi membenci Nenek Dini.

"Maaf ya Tante, kalau tentang saudara-saudaraku, itu di luar jangkauan Tante. Siapa yang sanggup untuk mengubah manusia...... Memang faktanya begitu adanya. Seharusnya keponakan tante itu harus maklum saja.....,"

"Keponakan? Wanita cantik dan baik itu punya nama, Vanya .Dia rela menjadi istrimu, meninggalkan karier, mengubah dirinya. Melupakan hobinya, bahkan bertahun-tahun ia tak pernah kau ajak berekreasi yang pantas. Sesuatu yang dulu ia miliki , semua sudah ia lupakan demi kamu dan rumah tangga kalian. Dia rela menjadi bulan-bulanan iparnya sendiri......Andreee Andre, betul mereka itu di luar jangkauan. Tapi apakah kamu pernah mengucapkan kata maaf kepada istrimu, atas nama saudara-saudaramu yang tak pernah merasa punya salah dan selalu menyalahkan istrimu? Apa tak bisa kamu bilang maaf dan terimakasih  kepada istrimu sekali sekali , atau satu kali saja dalam setahun???. Bahkan Tante yakin seyakin-yakinnya, saat istrimu sedih menangis kamu bukan jenis manusia yang akan merangkul dan menyeka air mata istri. Kamu sejenis lelaki yang tega membiarkan istri menangis sendirian, pasti  Vanya merindukan dekapan seorang  lelaki yang melindunginya....... Untung Vanya type wanita setia  yang rela berkoban.......Padahal kamu sendiri tahu bukan, begitu banyak lelaki lain yang dulu memburunya ingin menjadikan istri........ Vanya bukan jenis wanita yang mudah berselingkuh.....padahal ia pasti sangat kesepian, ditambah lelah lahir batin, sampai jiwanya sakit dan kewarasannya hilang....Saat ia sedih  , susah dan menangis,..... pasti dalam sunyi dan kesendirian....... Lalu kamu kemana saja? Malah kamu menjauhinya. .........Dengan gampang kamu jawab,  wajar sajalah..... kan kamu sudah banting tulang di luar sana...cari nafkahlah....... Pulang-pulang dilarang mengganggu, termasuk istrimu....... dilarang mengganggu, ...... ."

Ayah masih diam. Nenek Dini suaranya bernada tinggi, pasti sangat  marah kepada ayah. Saat itu , aku merasa tak suka ada orang yang mengomeli ayah. Aku hampiri ayah,  ayah tampak mengusap airmata. 

Jarang-jarang ayah menangis. Memang sih,  aku pernah sekali saja melihat ayah menangis di hadapan ibu, kudengar , ayah berkata  kepada ibu, ia menangis karena rindu Eyang Putri. 
Biasanya ayah menangis tentang hal-hal yag berkaitan dengan Eyang Putri. Mana pernah ayah menangis karena ikut merasakan kesedihan ibu. 
 
Kali ini ayah pasti menangis karena sedih diomeli Nenek Dini. 

"Nenek Dini jahat..... Ayah menangis  dimarahi nenek," aku memaki wanita tua itu. Ayah membiarkan aku memakinya. Sebaliknya nenek Dini malah memelukku.

"Maafkan nenek sayang.....,"

Sakit hati rasanya menyaksikan Nenek Dini mengomeli ayah. Tapi setelah aku dewasa berbalik  , justru aku menghormatinya. Setelah akal dan otakku jalan, yang aku benci justru mereka yang menyakiti ibu.

Aku masih kecil, tapi ingatanku kuat sekali merekam  semua itu. Saat Nenek Dini, bibi dari ibu tersebut dengan sangat marah menyalahkan ayahku.


*  *  *
PULUHAN TAHUN KEMUDIAN

Puluhan tahun sudah berlalu. Puluhan tahun silam juga, aku menyaksikan ibu akhirnya pulang. Perlahan ia mulai bangkit pulih dan sehat, kembali  seperti  Super Woman. Ibuku kembali menjadi Octopussy  hebat.

Akhirnya  ibu mulai sehat kejiwaannya.  Nenek Dini kerap mendampingi ibu, mengayominya. Katanya, ibu tengah merangkak berjuang keluar  dari keterpurukan jiwa.

Setelah aku remaja, aku mulai  bisa mendefinisikan masalah. Kata Nenek Dini, ibuku  terlalu  sering jadi bahan celaan  para ipar,  dan ibu adalah wanita tegar. Ketika ayah  kekurangan menafkahi kami, ibu sangat kreatif  , ada saja jalan ia temui untuk menari penghasilan. Dulu di masa silam, belum ada media sosial,internet belum memasyarakat, belum ada Hape pintar android,  tidak mudah mendapat kerja dan penghasilan yang bisa dikerjakan di rumah.

Ibu bagiku adalah wanita  hebat. Ia menerima pesanan prakarya yang dikerjakan di rumah. Sambil   mengasuh anak, mengajari anak pelajaran, memasak, menyuci pakaian, menyeterika, menyikat kamar mandi, menyapu dan mengepel lantai, mengurus halaman dan taman, menjalankan administrasi rumah tangga, menyetir  antar jemput anak sekolah. Tanpa bantuan asisten /supir/tukang kebun dan yang lainnya. 

Aku sering bangga kepada temanku, saat SMP temanku bertanya, kenapa aku  pintar matematik? Karena ibu juga yang mengajarinya. Sementara ibu orang lain jarang-jarang ada yang pandai mengajari pelajaran sekolah untuk tingkat SMP dan SMA. Paling banter hanya mengajari pelajaran SD  sampai kelas 4 saja.

Ibu  seperti Octopusy dengan tangan yang banyak. Ia bisa melakukan banyak hal, ia jago  berenang, ia juga pintar membuat masakan,  suaranya indah saat menyanyi,  melakukan banyak hal yang ibu lain tak bisa melakukannya. Tapi kalau aku boleh aku katakan, ibuku sangat rajin. Ya daya juang tinggi, rajin, gigih dan tekun.

Kini aku tahu mengapa ada orang  membencinya. Tentu mereka gengsi mengatakan benci ibu karena iri hati. Karenanya mereka selalu mencari kesalahan dan kelemahan  supaya punya alasan untuk mencaci maki ibuku sepuas hatinya.

Ya, mereka rindu menemukan kesalahan ibu, agar mereka bisa sepuas-puasnya melampiaskan kedengkian. Kedengkian yang dibungkus rapat dengan tuduhan-tuduhan kesalahan dan kelemahan ibuku, yang mereka gali dan  cari-cari, dan mereka goreng goreng lalu dibesar-besarkan.

Kata orang, waspada. Kedengkian dan iri hati  bisa membuat  orang jahat semakin kalap dan nekad.

Jika ibu kekurangan uang, aku melihatnya bergadang menjahit  sulaman-sulaman prakarya yang ia terima dari sebuah eksportir. Ia juga menerima jasa analisa keuangan dan laporan pajak yang cukup banyak.

Ia kerjakan hingga larut malam, tapi tetap  memasak, bangun dini hari, menyiapkan bekal  makan siangku untuk sekolah  dan kuliah. Ia tetap  melakukan pekerjaan rumah tangga.

Orang yang tak suka ibu tetap mencapnya,”Si Pelit, kurang banyak memberi”. Padahal ibuku rela  kekurangan uang ketika ayahku harus berbagi dengan keluarga besarnya.

Tapi bukan berarti aku tak pernah bikin masalah juga menyusahkan ibuku sendiri. 
Baru kusesali di masa kini, dulu aku ikut membebani ibuku.

Aku kerap marah dan tak puas dengan masakan ibu, lain kali aku kesal entah  masalah apa saja.  Tapi ibuku selalu penuh maaf, meski ia kadang menjadi keras karena  ingin aku kuat dan tabah dalam hidup. Ia marah kalau aku cengeng dan  patah semangat.

Ya, saat itu, aku beranjak remaja dan jiwaku sedang labil. Kasihan ibu, suka menjadi sasaran emosionalku juga. . 


PULUHAN TAHUN SETELAH AKU BERKELUARGA

Waktu berjalan. Ibu mengantarku ke jenjang pernikahan. Dengan bangga ia mendampingiku di pelaminan. Ia  katakan, ingin aku bahagia.

Kemudian aku dianugerahi bayi. Oh Bahagianya. Tapi , di balik itu,  ternyata memiliki bayi itu berat. Kurang  tidur, kurang istirahat, seolah duniaku  sudah berakhir di  kamar tempat aku mengurusi bayi. Siang dan malam. 

Ya Tuhan,  kini aku  baru merasakan  semua kepedihan ibu. Aku baru tahu rasanya mengurus bayi, dan apa artinya depresi paska melahirkan.

Aku baru tahu rasanya berat menghadapi kedengkian para ipar. Tapi, aku sudah mendapat bekal , yakni  dorongan semangat dan  upaya ibu menyadarkanku untuk kuat.

Terus terang, aku rindu kepada ibuku.  Sangat rindu. 

Teringat  ketika ibu menangis di balik terali rumah sakit jiwa. Ia menangis kelu dan terisak, tapi tak mengenalku. Pastinya, jiwa ibu saat itu remuk redam. Apalagi ayahku belum menyadari, bahwa perilaku ayah dan keluarga besar ayah, paling  berkontribusi mengoyak-ngoyak kewarasan ibu.

Teringat ketika ibusering kelelahan. Banyak tahun dimana ibu menahan kesakitan . Tapi ia tak mau sedikitpun  kehilangan waktunya buat mengurusi kami. Aku , ayahku dan adikku. Ia abaikan kesempatan berobat karena terlalu sibuk mengurusi kami.

Teringat ketika bagaimana ketegarannya   menghadang prahara . Kala ia  dijadikan sasaran fitnah  paman, bibi dan uakku sendiri.

Teringat betapa ia memiliki segala  kepandaian dan keahlian, yang ia gunakan  untuk membantu cari nafkah, pada saat  kami masih  belum berkecukupan. Betapa rajinnya ibuku. Tidak gampang berjibaku mencari nafkah  sambil melakukan semua ururan rumah tangga tanpa asisten dan supir. Tanpa tukang kebun. Plus terjun mengajari anak  yang kesulitan memahami pelajaran sekolah. 

Dan yang paling sedih, teringat ketika ia akhirnya menyerah pada sakit yang dideritanya. Kata ayah dalam pesan yang ayah kirim, ibu seperti kehilangan semangat.

Aku terisak  malam ini. Terkenang kata-kata ibu.

“Kebahagiaan ibu, adalah jika kau menjadi manusia yang disayang Tuhan. Tuhan sayang pada wanita yang kuat dan tabah, bertanggung jawab, punya hati nurani, rajin, gigih  menuntut ilmu,  rajin bekerja dan beribadah, sayang kepada ayah, adik dan siapapun jua.”

Bisikan ibu selalu mengandung optimisme.

Aku menggendong bayiku, anak ke 2 ku. Aku sudah menjadi ibu dan baru bisa memahami  perjuangan ibu saat mengandung dan melahirkanku. 

Apalagi , ketika ia mengandung aku di rahimnya , ayahku   tugas lama ke luar negeri . Kasihan ibu. Pasti bukannya fisiknya saja yang sakit, tapi hatinya juga, jiwanya perih juga.


*  *  *

Malam itu aku  sangat rindu ibu. Tapi  kami terpaut jarak jauh, melintasi benua.  Di seberang samudera  rasa rindu kepada ibu semakin tak terbendung. Rasa bersalah menggempurku.

 Aku menyesal dulu suka memakinya, dan membiarkan ia kelelahan sendiri di dapur .

Jika kumpul keluarga besar ayahku, ibuku andalan untuk menyiapkan masakan bagi seluruh keluarga besar selama beberapa hari. Padahal saat itu diam-diam ibu sudah mulai sakit. Ia menahan kesakitan dan menyembunyikannya. 

Kata dokter, usia ibu tinggal menghitung bulan. Ia tak sadarkan diri. Begitu pesan dari ayah. Mataku basah. Tak sabar aku ingin pulang kembali ke tanah air. Di seberang samudera ini aku harus mendampingi suamiku bertugas. Beruntung akhirnya tiba waktu kami kembali ke tanah air  . 

Aku tertidur di sebelah bayiku.  Menunggu  waktu pulang ke tanah air, aku rindu ibu.
Akhirnya waktu yang kunanti tiba. Kesempatan pulang ke tanah air, melepas rindu kepada ibu.
Indonesia aku pulang. 



*   *  *

Kami bergegas ke rumah sakit tempat ibu dirawat. Langsung setelah  perjalanan berjam-jam  dari bandara. Sudah kucatat nomor kamarnya. 

Dan aku jatuh pingsan , karena ternyata  ranjang dan kamarnya nya sudah kosong. Hanya tempat tidur yang rapih dan membisu. Dalam ketidak sadaranku, berkelebat mimpi-mimpi aneh. Mimpi buruk dan kenelangsaan batin.  Semua menjadi sangat gelap. 

“  Yanka sayang, bangun nak…,” suara ibu. Ibu? 

Oh, alam kematiankah ini. Bukankah ibu sudah tiada? Aku juga sudah mati?

Perlahan mataku mulai menyapu ruangan. 
Aku lihat suami, anakku, adikku, ayahku, semua ada. Dan ibu…ya Tuhan, benarkah ini ibu? Ia membelai dan mengecup keningku. Rambut memutih,  kulit keriput, tapi ia tetap cantik. Meski tampak letih dan lemah. 

“Iya, alhamdulillah, ibu mulai sembuh nak……. . Seperti kata ibu, kita tidak boleh menyerah pada kekalahan. Ibu harus kuat dan sembuh untuk kalian, kasihan ayahmu , kasihan adikmu, kasihan cucu-cucu ibu…..”

Aku bersujud syukur ,memeluknya. 

“Ibu.., kau memang Octopussyku tersayang, dengan sejuta kekuatan yang entah selalu kau dapat darimana.. Pasti kau minta kepada Tuhan…"

Ibu orang baik, yang berhati bersih, tapi tak pernah berkoar mengaku-aku dirinya manusia  berhati bersih, padahal hati ibu seputih pualam…..

Ibu…terimakasih ibu mau berjuang untuk sembuh. Yanka sekarang sudah  pulang bu, dan  tak mau lagi jauh dari rumah ibu….. Maafkan Yanka bu, kalau Yanka dulu suka  semena-mena pada ibu…Yanka kangen,” aku memeluknya sekeras mungkin.

Terimakasih Tuhan, aku masih bisa memeluk ibuku  ,yang tangan keriputnya terasa lembut, yang  tulang lemahnya terasa menguatkan, yang suara  seraknya begitu merdu, yang semangatnya selalu bersinar, untuk ayahku, untuk adikku, untuk cucu-cucunya.

*  *  *




Yanka anakku sayang,  hidup ini pelajaran. 


Jangan menjadi bodoh. Ingat,   ada batasnya pengabdian mengurus orang lain  di luar mengurus anak dan suami…. Karena  kesehatanmu juga penting untuk suami, anak-anakmu, mungkin cucu kandungmu sendiri kelak….Masa depan masih panjang...... 

Jangan biarkan  orang-orang menindasmu atas nama pengabdian…….
Kalau kau sakit, anakmu terlantar,  apa kau tega  anakmu dalam pengurusan orang lain?  Jangan sampai pengalaman sedih ibu terulang lagi……

Sebagai pelajaran, jangan pernah menjadi manusia berwatak tidak adil dan sulit, jangan pernah menindas orang lain  . 

Menolong orang ada batasnya. Ketika orang yang kau bantu dulunya terlalu lama bermalas-malasan.  

Ketika orang yang kau bantu terlalu lama berleha-leha , pikirkan baik-baik, sementara kauu banting tulang sampai sakit….
Siapa lagi yang akan menyayangi tubuhmu selain dirimu sendiri… Anak dan suamimu ingin kau sehat

Jangan pernah mengorbankan kesehatanmu untuk orang yang masa mudanya serta  jam tidur yang terlalu panjang, yang jam kerja dan berjuangnya terlalu sedikit di masa silam.
Jangan pernah besar pasak daripada tiang, Sesuaikan belanja dengan penghasilan. Mandirilah dalam hidup anakku sayang. 
Jaga kesehatan  dirimu,  suami dan anak cucumu membutuhkannya.  Jangan berharap orang lain perduli dengan kesehatan dan kesejahtraanmmu, kebanyakan orang hanya perduli dirinya dan kelompoknya sendiri, walau harus mengorbankan orang dan kelompok lain.


Jangan sampai kita harus  banting tulang di hari tua, padahal itu karena di  hari-hari muda mereka , terlalu banyak jam santai dan tidur. Jangan sampai  setelah kepepet tua baru kerja keras. 
Jangan sampai kerja keras   baru dilakukan menjelang usia senja, hampir terlambat.
Dan orang seperti itu , biasanya takkan berhenti mengkambinghitamkan  orang lain. 

Terimakasih Ibu , untuk menjadi kuat karena aku anakmu. Tuhan menyayangmu , selalu , aamiin. 


           
           
           

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar