Daftar Blog Saya

Rabu, 01 Mei 2013

HARI PENDIDIKAN NASIONAL dan PENGALAMAN AYAHKU MENGAJAR DI MALAYSIA


Ayahku, berfoto bersama dengan  guru daan siswa di Sekolah SMA (sekarang sekolah Teknik) Sultan Ismail , Johor Baharu Malaysia , 1973
 





Ayahku, berfoto bersama dengan para guru di Sekolah SMA (sekarang sekolah Teknik) Sultan Ismail , Johor Baharu Malaysia , 1973

Ayahku m berfoto bersama dengan  sebagian siswa  muridnya di Sekolah Sultan Ismail , SMA, di Johor Baharu , Malaysia tahun 1973



SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL

Cerita Pendidikan di Malaysia
Tahun 1960 hingga 1970an
(Guru-guru Asal Indonesia turut Berjasa).


Ayahku Amir Achmad, berfoto bareng Pak Syahrir (sesama pengajar) dan murid siswa siswi di Sekolah Sultan Ismail , Johor Baharu , Malaysia 1973


            Dalam acara TV One , INDONESIA LAWYERS CLUB, bulan April 2013, saya tergelitik mendengar  bahasan tentang UJIAN NASIONAL. Ketika Bapak Yusuf Kalla mengungkapkan bahwa ujian negara  bukan hal baru, tapi tahun 1950 dan 1960 hingga 1972 sudah ada. Akan tetapi menurut beliau, sejak tidak diadakannya ujian negara setelah 1972 dan seterusnya kualitas pendidikan kita terus merosot, dan tertinggal jauh dibandingkan dari Malaysia bahkan Singapura.
            Ujian Nasional  menjadi perdebatan, ketika   terungkap tentang kecurangan yang tercipta dan mental curang yang semakin parah untuk mengantisipasi Ujian Nasional.
            Mungkin, benar niat baik Pak Yusuf Kalla, yang ingin memetakan kualitas pendidikan. Namun , menurut Retno Listyani pada prakteknya, ketika hasil ujian negara  yang diraih dengan cara curang , lalu digunakan untuk kelulusan atau alat ukur prestasi , maka berjatuhanlah korban-korban kecurangan. Yang terjadi  bukan lagi standar yang asli, tetapi standar hasil rekayasa.

            Simak beritaya di Tempo.co.id, …”- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat adanya kecurangan yang bersifat struktural pada Ujian Nasional di sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) di tujuh daerah, yaitu di Sumatera Utara, Brebes-Jawa Tengah, Pulau Muna-Sulawesi Tenggara, Bekasi-Jawa Barat, Pandeglang-Banten, Jawa Timur, dan DKI Jakarta…….

          

            Lantas  bagaimana bisa Malaysia yang tadinya  selalu  mengacu pendidikan di Indonesia kini bisa membangun kualitas dunia pendidikannya ?
            Saya mungkin bukan seorang ahli pendidikan, atau  profesor dan sebagainya. Namun ijinkan saya berbagi pengalaman masa kecil ketika saya pernah ikut ayah saya menjadi guru dan mengajar di sana, saya bahkan ikut mencicipi  pengalaman bersekolah di Johor Bahru Malaysia tahun 1970an.

KIAT MALAYSIA MEMAJUKAN PENDIDIKAN : MENSEJAHTERAKAN GURU,  MENYEMPURNAKAN FASILITAS BELAJAR MENGAJAR , MENGGALAKKAN SAINS DAN MATEMATIK, LABORATORIUM DIPENTINGKAN.
           
            Tulisan ini saya buat  berdasarkan pengalaman dan opini  pribadi saya yang mungkin penuh keterbatasan.
            Tahun 1970 penulis mulai tinggal di Johor Baharu. Menyusul ayah penulis yang diperbantukan menjadi guru di sana, beliau adalah Drs Amir Achmad, Msc, (alm).  Jika kini orang Indonesia  ada kalanya diidentikkan sebagai tenaga  kerja kasar, kuli atau pembantu , bahkan dicurigai sebagai pendatang haram, pada masa itu keadaan justru sebaliknya.
Bangsa Indonesia kala itu sangat dihormati dan dikagumi. Apalagi pada masa itu banyak guru-guru  didatangkan dari Indonesia. Bukan sembarang guru, banyak di antara mereka adalah dosen ITB atau lulusan ITB. Juga guru-guru kompeten dari STM di Indonesia.
            Johor Baharu ,Tahun 1970.Penulis beserta ibu menyusul ayah penulis yang sudah lebih dulu berada di Johor Baharu dan mengajar sebagai guru di Sekolah Sultan Ismail (sekolah Inggris, mengajar di SMA).
Baru tiba di rumah kontrakan di lorong Larkin, para tetangga mendatangi kami selayaknya  seorang tamu agung.  Ibu penulis yang kebetulan alumni Farmasi ITB  kerap menjadi tempat bertanya banyak hal. Juga tempat  belajar anak tetangga.
Selain itu ibu diminta menjadi pengajar  seni tari  termasuk membuatkan pakaian  Tari Tanggai (tari Sriwijaya)  di sebuah pentas lomba seni antar sekolah, dan kiprah ibu menjadikan sekolah tersebut juara dan memperoleh piala untuk tari tanggai yang dipentaskan.
Tahun 1970, penulis sering mendengar anak-anak sekolah menyanyikan lagu Rasa Sayange. Ibu penulis berkata, itu kan lagu asli Indonesia. Seorang anak mengatakan lagu itu sangat difavoritkan di sekolah. Mereka bahkan tak tahu itu lagu asli Indonesia.
Jika ada orang tahu kami orang Indonesia, mereka seperti terkagum-kagum. Pendek kata , orang Indonesia adalah simbol kepintaran, narasumber , bukan  identik dengan  buruh kasar dan  pendatang haram seperti sekarang ini.
Saat penulis bersekolah di Quan Yeou, alias Sekolah Larkin 2, sebuah sekolah Inggris di Johor, teman-teman penulis suka terkagum-kagum  tentang Indonesia. Anak Indonesia dibilang pintar.
Penulis  menemukan banyak perbedaan dengan di Indonesia. Saat itu libur sekolah di Kota Johor juga berbeda dengan di Indonesia, hari Jumat dan Sabtu adalah hari libur, tapi hari Minggu sekolah. Sekolahnya juga lumayan santai.
Yang mengherankan lagi di sana setiap hari kalau murid sekolah bukannya membawa buku tulis, melainkan bawa papan tulis kecil, kapur tulis dan penghapus papan. Sementara buku teksnya  jauh lebih bagus dari Indonesia. Tercetak dengan kertas kilap dengan ilustrasi berwarna cerah seperti majalah. 
Pelajarannya hanya membaca dalam Bahasa Inggris saja. Tidak belajar menulis huruf sambung. Berhitungnya tidak sebaik di SD (SD swasta di jalan Merdeka Bandung) saat penulis pulang ke Indonesia tahun 1971.  Betul saja,  di tanah air  selama satu bulan penulis harus pulang lebih siang dari murid lainnya. Karena harus ikut les privat pada guru ,  pelajaran SD di  Johor Baharu kala itu masih jauh tertinggal.
Saat itu juga ibu penulis memilih balik ke Indonesia, karena di sana  tak ada orang yang mau menjadi  pembantu rumah tangga. Sehingga  ibu penulis merasa kewalahan harus menyuci dan memasak sendiri, mengurus dan mengasuh anak sampai  menyeterikapun harus dilakukan sendiri. Sementara ayah penulis masih terikat kerja beberapa tahun lagi.
 Kondisi masa kini  sudah sangat  berbeda , warga negara Malaysia bisa berleha-leha sebagai majikan, setelah  ramai-ramai  ‘mengimpor’ tenaga pembantu dari Indonesia.
            Lain sekarang, lain dulu .
            Saat itu berbarengan dengan  ayah penulis yang  mengajar di Sekolah Menengah  Sultan Ismail,  banyak sesama  alumni ITB  (antara lain teman baik ayahku  Drs Bernard Darmawan Djonoputro  MSc (alm), Prof. Dr. R.E. Soeriaatmadja , dll) yang diminta bantuan mengajar  di Malaysia. Banyak dari mereka berstatus dosen ITB. Hanya ayah penulis saja yang dosen UNPAD, namun ayah adalah  alumni Fisika ITB
Selain itu juga banyak guru sekolah kejuruan teknik  (lulusan IKIP) Indonesia yang tentunya  terseleksi , ikut diperbantukan , dalam membenahi sistem pendidikan di negeri jiran tersebut. Serta untuk meningkatkan mutu  dunia pendidikan Malaysia.
            Dalam kacamata bangsa Melayu Malaysia,  bangsa Indonesia memiliki  pesona tersendiri, dianggap cerdas dan cakap serta pandai. Apalagi kehadirannya di sana sebagai sosok-sosok yang dihormati. Yakni sebagai guru.

            Inovasi Pendidikan, Dimulai dari Guru
Profesi guru adalah sosok yang  jadi panutan dan mendapat  penghormatan tersendiri. “Cik Gu” begitulah panggilan terhormat bagi kaum guru.
            Seorang guru   mendapat  penghargaan materiil yang tak terkira. Kesejahteraan menjadi  guru di Malaysia bahkan melampaui   penghasilan dosen di negeri sendiri. Namun bagi penulis, yang berkesan adalah bagaimana   masyarakat umum dan para siswa/i  bersikap santun terhadap para guru. Mengingatkan pesan ayahanda penulis, bahwa  selain orang tua , yang pantas mendapat penghormatan kita atas jasanya adalah guru.
            Banyak dari para guru asal Indonesia tersebut yang diminta menjadi warga negara Malaysia , dan  tentunya dengan tawaran kesejahteraan serta  masa depan yang menjanjikan. Salah satu sahabat ayah akhirnya menjadi  warga negara Malaysia.
            Selain itu di Sekolah Sultan Ismail, fasilitas dan infrastruktur pendidikannya tergolong canggih. Untuk sekolah tingkat SMA saja laboratoriumnya bisa lebih baik dan canggih daripada laboratorium Fisika  untuk perguruan tinggi di Indonesia. Baik dari kuantitas maupun  kualitas  ruangan plus fasilitas peralatannya.
            Sebagai seorang pengajar di bidang sains, proses pembelajaran dengan  memperbanyak praktek di laboratorium adalah vital. Begitu ayah menjelaskan. Sains tanpa praktikum seperti pengetahuan yang timpang.
            Demikian juga dengan tenaga pengajar, selain harus menguasai materi, juga harus mampu menyampaikan step by step sehingga penguasaan konsep siswa begitu kuat. Bukan hanya di alam teori, tapi paham proses terjadinya suatu rumus-rumus Fisika misalnya.Jadi bukan karena menghafal rumus  tapi tidak sampai  paham mendalam.
            Menteri yang menangani ‘perubahan’ sistem pendidikan di Malaysia kala itu tampaknya memahami betul strategi ini. Bahkan yang direkrut untuk membenahi pendidikan di Malaysia kala itu  kebanyakan guru-guru bidang eksakta dan sains, diseleksi mereka yang sangat kompeten yang jumlahnya cukup besar dari Inggris dan dari belahan dunia lain , termasuk Indonesia (hanya pengajar eksakta dan sains).
            Membenahi pola pikir anak bangsa dilakukan dengan   membenahi kemampuan berpikir rasional, menajamkan logika , yang dibangun lewat matematika (berhitung) dan sains. Itulah yang terungkap dari banyak pembicaraan Sang Menteri saat itu. Di akhir dekade 1960an  itu, keyakinannya memulai dari menggalakkan ilmu eksakta dapat mengubah mind set bangsa, dan mungkin hasilnya baru akan tampak  puluhan tahun kemudian.
            Boleh dikata kini Malaysia mengalami banyak kemajuan. Semoga sejarah tidak melupakan, begitu pentingnya peranan dan jasa guru-guru Indonesia yang pernah diperbantukan di Malaysia pada akhir dekade 1960an dan awal dekade 1970an.



Ayahku Amir Achmad saat silaturahmi dengan   Tuan Dato Seri Haji Hamdan Bin Sheikh Tahir di Pulau Penang Malaysia tahun 1980an
 


Tuan Dato Seri Haji Hamdan Bin Sheikh Tahir 
Tuan Dato Seri Haji Hamdan Bin Sheikh Tahir 


Ayahku Amir Achmad saat berkunjung ke kediaman  Tuan Dato Seri Haji Hamdan Bin Sheikh Tahir di Pulau Penang Malaysia tahun 1980an
 


Jamuan makan , Ayahku Amir Achmad saat berkunjung ke kediaman  Tuan Dato Seri Haji Hamdan Bin Sheikh Tahir di Pulau Penang Malaysia tahun 1980an
 



            Peran DR H Hamdan Bin Sheikh Tahir, Keturunan Indonesia

            Siapakah Menteri di Dunia Pendidikan saat itu? Kemajuan  dunia pendidikan di Malaysia sebenarnya salah satunya tak lepas dari jasa almarhum   DR H. Hamdan Bin Sheikh Tahir  . Beliau adalah  arsitek peningkatan kualitas pendidikan  di Malaysia. Ayahanda beliau, bernama Sheikh Tahir, adalah asli  orang Bukittinggi. Sheikh Tahir adalah keponakan sekaligus anak angkat ulama terkenal Achmad Khatib al Minangkabau (pernah menjadi imam Masjidil Haram)
            Tahun 1966 hingga tahun 1976  beliau berperan sebagai Ketua Pengarah Pendidikan Malaysia  . Dan di tahun  1976 hingga tahun 1982 memegang  tugas sebagai Naib Canselor Universiti Sains Malaysia , Pulau Pinang (Penang).  Selain sebagai  Wakil Tetap Malaysia dan Duta di UNESCO , Paris , Prancis  dari tahun 1982-1985.
Dan sejak 1 Mei 1989  , DR H. Hamdan Bin Sheikh Tahir  , dengan gelar lengkapnya Tuanku Yang Terutama Dato’ Seri (DR) H. Hamdan Bin Sheikh Tahir .M.N, P.S.M,., D.U.P.N., D.P, DMPN , K.M.N., resmi dilantik sebagai  Tuan Yang Terutama Yang di-Pertua Negeri Pulau Pinang. Pada tahun 1993 bulan Agustus  beliau dilantik sebagai Canselor Universiti Pertanian Malaysia.



Dalam menjalani pelbagai jabatan tersebut  ada jabatan rangkap  yang juga diembannya. Sebut saja sebagai Pengurus Lembaga Gubernur Dewan Bahasa  dan Pustaka 1966 hingga 1976. Selain merangkap sebagai tenaga ahli  di beberapa insititusi kependidikan  Universiti Pertanian Malaysia.  Institut Teknologi Malaysia (sekarang Univeristi Teknologi Malaysia) dan Maktab Tentara di Raja Malaysia. Tahun 1976 hingga  1986 sebagai Persatuan Penyelamat Kelemasan Malaysia.
Begitu banyak peran penting beliau di negeri jiran. Jejak pendidikannya antara di mulai dari Sekolah Rendah  Melayu  , Kuala Kangsar, lalu Sekolah menengah Clifford, Raffles College Singapura, termasuk beasiswa yang juga ia peroleh untuk  belajar di University of Nottingham , lalu University of London  dan Universiti Malaya Singapura. . Sementara berbagai  profesi guru  seperti  mengajar di Sekolah Clifford ,   dan sebagai Pengetua  di Sekolah Iskandar Shah , Parit, Perak  dan sebagainya.
Pengabdian dan minatnya di dunia pendidikan ,  telah memberi warna segar  dalam  dunia pendidikan Malaysia. Tak heran jika dulu berbondong-bondong  warga Malaysia mengejar  pendidikan tinggi  di Indonesia, kini mulai terjadi sebaliknya.
 Menghargai guru ,membuka jalan  mudah bagi  peningkatan kualitas guru, dengan jaminan kesejahteraan para guru , hanya salah satu saja dari banyak langkah yang  diprakarsainya. Mengundang para guru dari Indonesia  juga merupakan gagasan yang tak sedikit memberikan sumbangsih  bagi peningkatan  pendidikan.
Dalam sebuah buku biografi yang dihadiahkan beliau kepada ayah penulis, terungkap bahwa kunci perubahan suatu bangsa terletak pada sektor pendidikan, lalu kesehatan.
.
                 





2 komentar:

  1. wah keren saya jg skarg si walayah johor bahru sebagai pelajar dan sbagai pekerja

    BalasHapus
    Balasan
    1. embun pagi.... thank you for comment, Johor Baharu, bagaimane kabar?

      Hapus