Ayahku, berfoto bersama dengan guru daan siswa di Sekolah SMA (sekarang sekolah Teknik) Sultan Ismail , Johor Baharu Malaysia , 1973 |
Ayahku, berfoto bersama dengan para guru di Sekolah SMA (sekarang sekolah Teknik) Sultan Ismail , Johor Baharu Malaysia , 1973 |
Ayahku m berfoto bersama dengan sebagian siswa muridnya di Sekolah Sultan Ismail , SMA, di Johor Baharu , Malaysia tahun 1973 |
SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL
Cerita Pendidikan di Malaysia
Tahun 1960 hingga 1970an
(Guru-guru Asal Indonesia turut
Berjasa).
Ayahku Amir Achmad, berfoto bareng Pak Syahrir (sesama pengajar) dan murid siswa siswi di Sekolah Sultan Ismail , Johor Baharu , Malaysia 1973 |
Dalam
acara TV One , INDONESIA LAWYERS CLUB, bulan April 2013, saya tergelitik
mendengar bahasan tentang UJIAN
NASIONAL. Ketika Bapak Yusuf Kalla mengungkapkan bahwa ujian negara bukan hal baru, tapi tahun 1950 dan 1960
hingga 1972 sudah ada. Akan tetapi menurut beliau, sejak tidak diadakannya
ujian negara setelah 1972 dan seterusnya kualitas pendidikan kita terus
merosot, dan tertinggal jauh dibandingkan dari Malaysia bahkan Singapura.
Ujian
Nasional menjadi perdebatan, ketika terungkap tentang kecurangan yang tercipta
dan mental curang yang semakin parah untuk mengantisipasi Ujian Nasional.
Mungkin,
benar niat baik Pak Yusuf Kalla, yang ingin memetakan kualitas pendidikan.
Namun , menurut Retno Listyani pada prakteknya, ketika hasil ujian negara yang diraih dengan cara curang , lalu
digunakan untuk kelulusan atau alat ukur prestasi , maka berjatuhanlah korban-korban
kecurangan. Yang terjadi bukan lagi
standar yang asli, tetapi standar hasil rekayasa.
Simak
beritaya di Tempo.co.id, …”- Federasi Serikat
Guru Indonesia (FSGI) mencatat adanya kecurangan yang bersifat struktural pada
Ujian Nasional di sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan
(SMK) di tujuh daerah, yaitu di Sumatera Utara, Brebes-Jawa Tengah, Pulau
Muna-Sulawesi Tenggara, Bekasi-Jawa Barat, Pandeglang-Banten, Jawa Timur, dan
DKI Jakarta…….
Lantas bagaimana bisa Malaysia
yang tadinya selalu mengacu pendidikan di Indonesia kini
bisa membangun kualitas dunia pendidikannya ?
Saya
mungkin bukan seorang ahli pendidikan, atau
profesor dan sebagainya. Namun ijinkan saya berbagi pengalaman masa
kecil ketika saya pernah ikut ayah saya menjadi guru dan mengajar di sana, saya bahkan ikut mencicipi pengalaman bersekolah di Johor Bahru Malaysia tahun
1970an.
KIAT MALAYSIA
MEMAJUKAN PENDIDIKAN : MENSEJAHTERAKAN GURU,
MENYEMPURNAKAN FASILITAS BELAJAR MENGAJAR , MENGGALAKKAN SAINS DAN
MATEMATIK, LABORATORIUM DIPENTINGKAN.
Tulisan
ini saya buat berdasarkan pengalaman dan
opini pribadi saya yang mungkin penuh
keterbatasan.
Tahun
1970 penulis mulai tinggal di Johor
Baharu. Menyusul ayah penulis yang diperbantukan menjadi guru di sana, beliau adalah Drs Amir Achmad, Msc, (alm). Jika kini orang Indonesia ada kalanya diidentikkan sebagai tenaga kerja kasar, kuli atau pembantu , bahkan
dicurigai sebagai pendatang haram, pada masa itu keadaan justru sebaliknya.
Bangsa Indonesia kala itu sangat dihormati dan
dikagumi. Apalagi pada masa itu banyak guru-guru didatangkan dari Indonesia. Bukan sembarang guru,
banyak di antara mereka adalah dosen ITB atau lulusan ITB. Juga guru-guru
kompeten dari STM di Indonesia.
Johor Baharu ,Tahun 1970.Penulis beserta ibu menyusul ayah
penulis yang sudah lebih dulu berada di Johor
Baharu dan mengajar sebagai guru di Sekolah Sultan
Ismail (sekolah Inggris, mengajar di SMA).
Baru tiba di
rumah kontrakan di lorong Larkin, para tetangga mendatangi kami selayaknya seorang tamu agung. Ibu penulis yang kebetulan alumni Farmasi ITB kerap menjadi tempat bertanya banyak hal.
Juga tempat belajar anak tetangga.
Selain itu ibu diminta
menjadi pengajar seni tari termasuk membuatkan pakaian Tari Tanggai (tari Sriwijaya) di sebuah pentas lomba seni antar sekolah, dan
kiprah ibu menjadikan sekolah tersebut juara dan memperoleh piala untuk tari
tanggai yang dipentaskan.
Tahun 1970,
penulis sering mendengar anak-anak sekolah menyanyikan lagu Rasa Sayange. Ibu
penulis berkata, itu kan lagu asli Indonesia.
Seorang anak mengatakan lagu itu sangat difavoritkan di sekolah. Mereka bahkan
tak tahu itu lagu asli Indonesia.
Jika ada orang tahu
kami orang Indonesia,
mereka seperti terkagum-kagum. Pendek kata , orang Indonesia adalah simbol kepintaran,
narasumber , bukan identik dengan buruh kasar dan pendatang haram seperti sekarang ini.
Saat penulis
bersekolah di Quan Yeou, alias Sekolah Larkin 2, sebuah sekolah Inggris di
Johor, teman-teman penulis suka terkagum-kagum
tentang Indonesia.
Anak Indonesia
dibilang pintar.
Penulis menemukan banyak perbedaan dengan di Indonesia.
Saat itu libur sekolah di Kota Johor juga berbeda dengan di Indonesia, hari Jumat dan Sabtu
adalah hari libur, tapi hari Minggu sekolah. Sekolahnya juga lumayan santai.
Yang
mengherankan lagi di sana
setiap hari kalau murid sekolah bukannya membawa buku tulis, melainkan bawa
papan tulis kecil, kapur tulis dan penghapus papan. Sementara buku teksnya jauh lebih bagus dari Indonesia. Tercetak dengan kertas
kilap dengan ilustrasi berwarna cerah seperti majalah.
Pelajarannya
hanya membaca dalam Bahasa Inggris saja. Tidak belajar menulis huruf sambung.
Berhitungnya tidak sebaik di SD (SD swasta di jalan Merdeka Bandung) saat
penulis pulang ke Indonesia
tahun 1971. Betul saja, di tanah air
selama satu bulan penulis harus pulang lebih siang dari murid lainnya.
Karena harus ikut les privat pada guru ,
pelajaran SD di Johor Baharu kala
itu masih jauh tertinggal.
Saat itu juga
ibu penulis memilih balik ke Indonesia,
karena di sana tak ada orang yang mau menjadi pembantu rumah tangga. Sehingga ibu penulis merasa kewalahan harus menyuci
dan memasak sendiri, mengurus dan mengasuh anak sampai menyeterikapun harus dilakukan sendiri.
Sementara ayah penulis masih terikat kerja beberapa tahun lagi.
Kondisi masa kini sudah sangat
berbeda , warga negara Malaysia
bisa berleha-leha sebagai majikan, setelah
ramai-ramai ‘mengimpor’ tenaga pembantu
dari Indonesia.
Lain
sekarang, lain dulu .
Saat
itu berbarengan dengan ayah penulis yang
mengajar di Sekolah Menengah Sultan Ismail, banyak sesama alumni ITB (antara lain teman baik ayahku Drs Bernard Darmawan Djonoputro MSc (alm), Prof. Dr. R.E. Soeriaatmadja , dll) yang diminta bantuan mengajar di Malaysia.
Banyak dari mereka berstatus dosen ITB. Hanya ayah penulis saja yang dosen
UNPAD, namun ayah adalah alumni Fisika ITB
Selain itu juga
banyak guru sekolah kejuruan teknik (lulusan
IKIP) Indonesia
yang tentunya terseleksi , ikut diperbantukan
, dalam membenahi sistem pendidikan di negeri jiran tersebut. Serta untuk
meningkatkan mutu dunia pendidikan Malaysia.
Dalam
kacamata bangsa Melayu Malaysia, bangsa Indonesia memiliki pesona tersendiri, dianggap cerdas dan cakap
serta pandai. Apalagi kehadirannya di sana
sebagai sosok-sosok yang dihormati. Yakni sebagai guru.
Inovasi Pendidikan, Dimulai dari Guru
Profesi guru
adalah sosok yang jadi panutan dan
mendapat penghormatan tersendiri. “Cik
Gu” begitulah panggilan terhormat bagi kaum guru.
Seorang guru mendapat penghargaan materiil yang tak terkira. Kesejahteraan menjadi guru di Malaysia bahkan melampaui penghasilan dosen di negeri sendiri. Namun bagi penulis, yang berkesan adalah bagaimana masyarakat umum dan para siswa/i bersikap santun terhadap para guru. Mengingatkan pesan ayahanda penulis, bahwa selain orang tua , yang pantas mendapat penghormatan kita atas jasanya adalah guru.
Seorang guru mendapat penghargaan materiil yang tak terkira. Kesejahteraan menjadi guru di Malaysia bahkan melampaui penghasilan dosen di negeri sendiri. Namun bagi penulis, yang berkesan adalah bagaimana masyarakat umum dan para siswa/i bersikap santun terhadap para guru. Mengingatkan pesan ayahanda penulis, bahwa selain orang tua , yang pantas mendapat penghormatan kita atas jasanya adalah guru.
Banyak
dari para guru asal Indonesia
tersebut yang diminta menjadi warga negara Malaysia , dan tentunya dengan tawaran kesejahteraan
serta masa depan yang menjanjikan. Salah
satu sahabat ayah akhirnya menjadi warga
negara Malaysia.
Selain
itu di Sekolah Sultan Ismail, fasilitas dan infrastruktur pendidikannya
tergolong canggih. Untuk sekolah tingkat SMA saja laboratoriumnya bisa lebih
baik dan canggih daripada laboratorium Fisika
untuk perguruan tinggi di Indonesia. Baik dari kuantitas
maupun kualitas ruangan plus fasilitas peralatannya.
Sebagai
seorang pengajar di bidang sains, proses pembelajaran dengan memperbanyak praktek di laboratorium adalah
vital. Begitu ayah menjelaskan. Sains tanpa praktikum seperti pengetahuan yang
timpang.
Demikian
juga dengan tenaga pengajar, selain harus menguasai materi, juga harus mampu
menyampaikan step by step sehingga
penguasaan konsep siswa begitu kuat. Bukan hanya di alam teori, tapi paham
proses terjadinya suatu rumus-rumus Fisika misalnya.Jadi bukan karena menghafal
rumus tapi tidak sampai paham mendalam.
Menteri
yang menangani ‘perubahan’ sistem pendidikan di Malaysia kala itu tampaknya
memahami betul strategi ini. Bahkan yang direkrut untuk membenahi pendidikan di
Malaysia kala itu kebanyakan guru-guru bidang eksakta dan
sains, diseleksi mereka yang sangat kompeten yang jumlahnya cukup besar dari Inggris dan dari belahan
dunia lain , termasuk Indonesia
(hanya pengajar eksakta dan sains).
Membenahi
pola pikir anak bangsa dilakukan dengan
membenahi kemampuan berpikir rasional, menajamkan logika , yang dibangun
lewat matematika (berhitung) dan sains. Itulah yang terungkap dari banyak
pembicaraan Sang Menteri saat itu. Di akhir dekade 1960an itu, keyakinannya memulai dari menggalakkan
ilmu eksakta dapat mengubah mind set
bangsa, dan mungkin hasilnya baru akan tampak
puluhan tahun kemudian.
Boleh
dikata kini Malaysia
mengalami banyak kemajuan. Semoga sejarah tidak melupakan, begitu pentingnya
peranan dan jasa guru-guru Indonesia
yang pernah diperbantukan di Malaysia
pada akhir dekade 1960an dan awal dekade 1970an.
Ayahku Amir Achmad saat silaturahmi dengan Tuan Dato Seri Haji Hamdan Bin Sheikh Tahir di Pulau Penang Malaysia tahun 1980an |
Jamuan makan , Ayahku Amir Achmad saat berkunjung ke kediaman Tuan Dato Seri Haji Hamdan Bin Sheikh Tahir di Pulau Penang Malaysia tahun 1980an |
Peran DR H Hamdan Bin Sheikh Tahir,
Keturunan Indonesia
Siapakah
Menteri di Dunia Pendidikan saat itu? Kemajuan
dunia pendidikan di Malaysia
sebenarnya salah satunya tak lepas dari jasa almarhum DR H.
Hamdan Bin Sheikh Tahir . Beliau
adalah arsitek peningkatan kualitas
pendidikan di Malaysia. Ayahanda beliau, bernama
Sheikh Tahir, adalah asli orang
Bukittinggi. Sheikh Tahir adalah keponakan sekaligus anak angkat ulama terkenal
Achmad Khatib al Minangkabau (pernah menjadi imam Masjidil Haram)
Tahun
1966 hingga tahun 1976 beliau berperan
sebagai Ketua Pengarah Pendidikan Malaysia . Dan di tahun 1976 hingga tahun 1982 memegang tugas sebagai Naib Canselor Universiti Sains
Malaysia , Pulau Pinang (Penang). Selain
sebagai Wakil Tetap Malaysia dan Duta di UNESCO , Paris
, Prancis dari tahun 1982-1985.
Dan sejak 1 Mei
1989 , DR H. Hamdan Bin Sheikh
Tahir , dengan gelar lengkapnya Tuanku
Yang Terutama Dato’ Seri (DR) H. Hamdan Bin Sheikh Tahir .M.N, P.S.M,.,
D.U.P.N., D.P, DMPN , K.M.N., resmi dilantik sebagai Tuan Yang Terutama Yang
di-Pertua Negeri Pulau Pinang. Pada tahun 1993 bulan Agustus beliau dilantik sebagai Canselor Universiti
Pertanian Malaysia.
Dalam menjalani
pelbagai jabatan tersebut ada jabatan
rangkap yang juga diembannya. Sebut saja
sebagai Pengurus Lembaga Gubernur Dewan Bahasa
dan Pustaka 1966 hingga 1976. Selain merangkap sebagai tenaga ahli di beberapa insititusi kependidikan Universiti Pertanian Malaysia. Institut Teknologi Malaysia
(sekarang Univeristi Teknologi Malaysia)
dan Maktab Tentara di Raja Malaysia.
Tahun 1976 hingga 1986 sebagai Persatuan
Penyelamat Kelemasan Malaysia.
Begitu banyak
peran penting beliau di negeri jiran. Jejak pendidikannya antara di mulai dari
Sekolah Rendah Melayu , Kuala Kangsar, lalu Sekolah menengah
Clifford, Raffles College Singapura, termasuk beasiswa yang juga ia peroleh
untuk belajar di University of
Nottingham , lalu University of London dan Universiti Malaya Singapura. . Sementara
berbagai profesi guru seperti
mengajar di Sekolah Clifford ,
dan sebagai Pengetua di Sekolah
Iskandar Shah , Parit, Perak dan
sebagainya.
Pengabdian dan
minatnya di dunia pendidikan , telah
memberi warna segar dalam dunia pendidikan Malaysia. Tak heran jika dulu
berbondong-bondong warga Malaysia mengejar pendidikan tinggi di Indonesia, kini mulai terjadi
sebaliknya.
Menghargai guru ,membuka jalan mudah bagi
peningkatan kualitas guru, dengan jaminan kesejahteraan para guru ,
hanya salah satu saja dari banyak langkah yang
diprakarsainya. Mengundang para guru dari Indonesia juga merupakan gagasan yang tak sedikit
memberikan sumbangsih bagi
peningkatan pendidikan.
Dalam sebuah
buku biografi yang dihadiahkan beliau kepada ayah penulis, terungkap bahwa
kunci perubahan suatu bangsa terletak pada sektor pendidikan, lalu kesehatan.
.
wah keren saya jg skarg si walayah johor bahru sebagai pelajar dan sbagai pekerja
BalasHapusembun pagi.... thank you for comment, Johor Baharu, bagaimane kabar?
Hapus