Seorang teman , sebut saja Lisye , nama samarannya. Matanya berkaca-kaca.
Ia seorang nenek, dan memiliki 3 anak, putra sulungnya sudah berkeluarga, memberikan cucu yang lucu- satu-satunya pelipur lara di hari tuanya. Usianya lebih dari 58 tahun.
Ia menceritakan masa kecilnya yang indah, lahir dan tinggal di Jakarta. Di sebuah rumah besar dan mewah. Dengan kamar tidur -kamar tidur yang masing-masing memiliki teras dan menghadap ke taman.
Tumbuih besar dalam keluarga berpunya, ia kuliah di Trisakti. Tahun 1970an, siapapun yang kuliah di Trisakti, sudah pasti anak orang berpunya. Karena biaya kuliah di kampus bergengsi ini sangat mahal untuk ukuran masa tersebut.
FIKSI: aku pulang menjelajahi kemarau.... Kompasiana |
Lulus S1 fakultas ekonomi, ia mulai merintis jadi pengajar di sana. Dulu, seorang dosen boleh lulus S1. Kalau sekarang minimal S2 bukan.
Saat telah berumah tangga, dengan seorang pria , ia berharap mendapatkan hal-hal yang semua ibu rumah tangga pasti memimpikannya.
Coba tanya, setiap orang. Berumah tangga ingin bahagia bukan? Mungkin kurang normal kalau ada yang menjawab, saya sudi diperistri karena ingin dibuat susah, dibuat miskin, dibikin sengsara... atau siap jadi pelayan bagi keluarga besar suami? "Iiiih, sorrry yaaaa., gue bukan babu brooo," itu bahasa kasar ala Betawi. Atau..., saya jadi istri siap berbagi, mulai dari perhatian, cinta, dan uang , dengan wanita lain? Tidak mungkinlah.
Jelas tidaklah. Semua istri ingin totalitas dari suaminya, cinta, perhatian, kasih sayang, nafkah uang, dan lain sebagainya. Meskipun pada kenyataannya banyak suami yang harus membagi nafkah keuangannya dengan adik-adiknya, ibunya. pamannya, dan lain sebagainya.
Selama saat berbagi itu tidak malah menyusahkan istri sendiri, mungkin sah-sah saja. Tapi kalau di atas sepertiga gaji sudah harus diberikan kepada ibunya, selama 31 tahun usia perkawinan, sembunyi-sembunyi pula..... sementara istrinya hidup dalam kondisi sangat prihatin, super hemat, pas-pasan... Bahkan penuh pahit getir. ...
Ini mah bukan lagi berbagi kebajikan bagi ibunya. Tapi sudah menempatkan ibunya sebagai 'istri' dalam tanda kutip. Sementara istri sesungguhnya hanyalah objek penderita selama 31 tahun.
Di sini masalahnya. Ibu mertua yang sangat dominan membuat Lisye merasa terpenjara . Ipar-ipar perempuannya yang suka mengkritik dan ikut mengatur urusan rumah tangganya, memang mirip dengan ertua Bu Lisye.
Ternyata , Bu Lisye ditipu. Selama ini sebagian gaji suami diberikan kepada ibu mertuanya. Saat suaminya mendapat uang pesangon,setelah pensiun, ibu mertuanya menghasut suaminya untuk bercerai. Dan , semua uang dibawa pergi. Untung Bu Lisye memiliki anak lelaki yang sudah kerja. Akhirnya ia menerima bantuan putranya. Lalu menerima jahitan untuk menambal kebutuhan dapurnya.
Singkat cerita, setelah suaminya pergi. Pertama sedih dan menangis. Apalagi tidak satu rupiahpun ditinggalkan sang suami. Tapiiii... hari demi hari setelah airmatanya membanjir setiap malam. Ia seperti melihat dunia yang sesungguhnya.
"Saya merasa merdeka. Merdeka dari lelaki yang satu paket dengan ibu mertua dan ipar-ipar yang ...hatinya busuk. Tukang pengeretan. .... Bu, saya merasa merdeka dari satu paket kesusahan. Mantan suami saya itu saya anggap satu paket lengkap kesusahan.... Setahun berlalu, meski hidup sederhana karena uang dari putra saya memang pas-pasan. Tapi ...inilah kebahagiaan.
Dulu, Abah, mantan suami saya itu tak pernah memikirkan kebahagiaan saya. Saya diadili, dicaci maki dan dijudgment buruk oleh adik-adik perempuannya yang nynyir itu.... saya tidak dilindungi.. tidak. Abah tidak berdaya, saat saya jadi pesakitan ..sebab pelakunya adalah ibundanya tersayang, dan adik-adik perempuannya tercinta....." Ibu Lisye menyeka airmatanya.
"Namun kini setelah Abah sakit, uangnya tandas ludes. Ibu dan adik-adiknya tak mau mengurusnya. Jadilah anak perempuan bungsu kami harus menginap di rumah neneknya. Ia mengurus ayahnya yang sudah sakitan.
Bukan saya tak mau kembali lagi dengan ayahnya anak saya. Bahkan minta maafpun ia belum pernah. Saya kasihan anak saya, tapi , saya juga perlu sehat lahir batin. Putri saya merengek agar saya kembal rujuk dengan ayahnya....
Tidak. Kalau saya rujuk kembali, berarti saya harus mengabdi kembali kepada ibu mertua saya, dan ipar-ipar saya punya kesempatan lagi untuk menindas saya....," Ibu Lisye terisak.
Ibu Lisye adalah teman baik saya, usianya lumayan rada jauh di atas saya. Karenanya, saya menuliskan cebuah cerpen, hadian buat Ibu Lisye.
Hanya saja cerpennya rada lebai, dibuat dramatis gitu lhoooo.
baca ya cerpen mini saya di Kompasiana.
FIKSI: aku pulang menjelajahi kemarau.... Kompasiana |
Kirain cuma di sinetron aja ada yang kayak gitu, Teh. Ih ternyata yaaa... duh amit-amit deh. Semoga Bu Lisye diberi penghiburan terindah oleh Allah.
BalasHapusiya Neng Efi... itu cerita sahabat teteh.... suka ikut nangis kalau di bercerita... Jadi TIDAK SELALU BENAR KALAU SUAMI BERBAGI KEPADA IBU DAN IPAR-IPARNYA AKAN MEMBUAT HIDUP JADI BERKAH DAN REJEKI NAMBAH... pasalnya mertua dan ipar yang bagaimana dulu yang kita bantu..... dan saat membantu seharusnya istri juga harus disejahterakan dong...bukannya istri dibikin prihatin puluhan tahun. Dampaknya buat metrtua dan ipar juga nggak bakalan berkah... wong mereka menari-nari di atas penderitaan seorang istri.... Yup, gitu rupanya ...hihihi.... makasih Fi dah mampir sini
Hapus