Minggu, 19 Juli 2015

NOVELETTE (5-tamat): GERIMIS MEMBINGKAI SENJA DI BRAGA

simak cerita sebelumnya di bagian 4

Ada seseorang lain yang juga hadir.  Seorang lelaki dengan keriput yang indah. Indah .... sebab  itu wajah yang aku sayang. Bukan…bukan ayahku. Ayahku telah lama tiada.

Dialah lelaki tua dimana cintaku berlabuh puluhan tahun silam. Ia kakek dari para cucuku, ayah dari anak-anakku. Dengan sabar ia membagi es pada ke  4 cucunya, cucuku.  Dan lelaki tua itulah yang menguatkan  hatiku,  tempat cinta berbagi, dan sumber inspirasi dalam hidupku.
Illustrasi Fiksi Novelet: Gerimis Membingkai Senja di Braga
by: berbagigagasan.blogspot.com
Lukisan Oil Pastel (painting ) on Paper

Gerimis senja ,  menautkan kerinduanku pada masa silam dan pada saat-saat berkumpul begini. Tak lama kemudian dua anakku  bersama  pasangan mereka datang. Kami  mengadakan reuni  setahun sekali di tempat penuh kenangan ini.

Namun anak perempuanku yang hadir dengan suaminya, tampak  gusar . Katanya  tadi habis mampir ke rumahku untuk  menyimpan sesuatu .

“Mama, tadi  Uak Biyan  kakak sepupumu itu, datang ke rumah mama, katanya mau minta bantuan uang  lagi……buat beli beras….. Tapi hati-hati, jangan-jangan malah beli televisi dan DVD player baru…buat nonton film 24 jam….Atau jangan-jangan, untuk istrinya membeli kosmetik jutaan rupiah biar kulitnya putih  dan awet muda…….Sebel aku lihat  sepupumu itu mama…. Udahlah  malasnya  luar biasa, nggak tahu malu  lagi…….

Bukankah  dulu orang tua Uak Biyan, Nenek Rere dan Kakek Raden ,  hidup sangat tergantung  harta orang tua, tergantung belas kasihan saudara. Padahal….  sudahlah bagian warisannya  terbesar karena dianggap miskin,…… .eeeeeh, masih nggak cukup juga, habis juga….

Terang aja,  udahlah  nggak  suka kerja keras, boros habis pula , manja , tukang pamer, hedonis, konsumtif…. dan gemar tidur siang plus malas-malasan…… Ya ,  dikasih berapa aja nggak pernah cukuplah…..,"anak perempuanku menggerutu.

Illustrasi Fiksi Novelet: Gerimis Membingkai Senja di Braga
by: berbagigagasan.blogspot.com
Lukisan : Oil Painting  on Paper


Masih belum puas juga. Anakku   kembali berkicau.

"...Bukankah  dulunya   orang tua Uak Biyan seperti  tuan raja  dan tuan ratu , yang selalu harus jadi pusat perhatian dan dilayani  Nenek sama Kakek . Kata orang,  mama dan papa sempat juga jadi seperti  kacung dan supir mereka?

Biar mama nggak cerita sama aku, tapi orang lain yang bilang,  mereka baru mulai rada baikan sama  mama ,  setelah mama  sukses dengan perusahaannya. Soalnya mereka   suka  ingin dikasih duit , dan ngambek kalau lupa  dikasih sumbangan……

Makanya tadi  aku tak mau memberi sepeserpun kepada dia. Malah aku cemberutin itu muka Uak Biyan,  sebel, kerjaannya tidur, ngerumpi, malas-malasan, ngobrol…… I

Istrinya nonton televisi melulu…Suruh kek kreatif  , jadi tukang cuci kek, jadi tukang ojeg kek…jadi supir jemputan kek…..hari gini ada orang malas nggak kreatif   pingin cari kerja jadi direktur….Apa kata dunia!!!!”  anak perempuanku menyerocos tampak  morang-maring menahan kesal.

Stop stop. Betapapun  jahatnya mereka tetap saudara. Jadi, aku meletakkan telunjuk di bibir anakku. 

“Sssssssst,  tarik nafas,  tenangkan hati…… Ingat Tuhan anakku sayang…… Justru  kita bisa bisa sejahtera  dan berharga  karena  ada orang-orang yang kita bantu, betapapun  buruknya mereka…..

Jangan sedikitpun menampakkan amarah kalian, atau menyakiti hati mereka. Apalagi Uak Biyan kan lagi susah…..Kalau dia perlu beras, nanti kita kirim saja 2 karung…..Percaya sama mama, sabar dan sabar ……. ,” aku memungkas  suasana. Senja semakin  kelam.

Betapa bahagianya  malam ini anak cucuku semua  akan menginap dan  merayakan ulang tahun cucu sulungku.

Dan semua cucu harus kebagian hak dan perhatian yang sama.

Aku  pantang  menjadi nenek pilih kasih  yang tampak tidak adil bagi salah satu  cucunya. Atau menampakkan puji-pujian sanjungan berlebihan kepada cucu yang satu, sementara yang lain dicuekkan.
Atau......  , yang jelas jangan sampai terjadilah sejarah buruk itu....

Aku ingin jadi nenek yang dikenang   oleh semua cucunya sebagai nenek yang bersih hati tapi tidak gila pujian atau  mabuk sanjungan.

Kebaikan  adalah benih cinta yang bisa membuat cucuku tumbuh menjadi pohon-pohon kokoh yang akarnya menghujam bumi,  dahannya  tinggi menukik langit. 

Jalan Braga menjemput malam. Namun lampu-lampu dan gemerlap  merkury  mulai menampakkan  wajahnya. Kami berjalan ke arah tempat parkir mobil waktu kami  dikejutkan  dengan kehadiran Biyan dan istrinya serta anak wanita dewasanya di tempat parkir .

“Neneng….,  tadi kata pembantu ,  kalian lagi pada ngariung (berkumpul./Sunda) di Braga.Boleh dong ikutan  kita ditraktir…..,” tampak senyum lebar Biyan dengan rambut yang mulai memutih.

Ia sungguh  jiplakan ke dua orang tuanya. Terbiasa jadi pengeretan, selalu ingin hura-hura, jalan-jalan, foya-foya....   tapi bukan dengan hasil jerih payah sendiri. Melainkan mendomoleng atas hasil banting tulang orang lain. Minta ditraktir.... Dan sering mencela kalau traktirannya kurang memuaskan atau kurang bergengsi....

Dan aku tengah berjuang habis-habisan menerapkan kembali menejemen sabar itu. Belum sempat aku menjawab.Anakku langsung menukas dengan nada sedikit tinggi.

“Maaf ya !!! “ malahan anak perempuanku yang berteriak , sebelum aku berucap,

”Maaf sekali lagi Uak Biyan, kami udah selesai ….,kami terburu-buru “ lagi timpal anak perempuanku.

Anak perempuanku menghampirinya seraya menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribu rupiah. 

” Ini ada ongkos buat Uak Biyan pulang. Maaf kami tak bisa mengantar, mobilnya  penuh. Soal beras, nanti berasnya akan kami antar ke rumah …,”  tiba-tiba anak perempuanku mendorongku ke dalam salah satu mobil dan menyuruh yang lainnya  masuk.



Mobil bergerak,  dan aku tak berkutik. Apalagi setelah mobil melaju, tampak wanita dewasa   putri Biyan melonjak kegirangan oleh  uang yang disodorkan anak perempuanku tadi.

Ia melonjak kegirangan di atas sepatu  seharga ratusan ribu rupiahnya. Memasukkan lembaran uang ke dalam  tas  dengan merk terkenal, dan pakaian  dari butik  mahal.

Dari kejauhan kami menyaksikan istri Biyan, tua , tapi  dengan  dandanan ala artis  muda saja. Dengan baju  yang selalu baru , make up yang  selalu menor dan mahal, rambut bercat pirang disasak ke atas.

Istri Biyan sudah menua , kini ia seorang nenek yang  selalu disentuh dengan kosmetika perawatan  seharga jutaan rupiah.

Begitu pula anak  perempuannya , anak  Biyan  , mereka turun temurun sama saja. Seperti perilaku Uak Rere saja, dan suaminya Uak Raden.

Dari kejauhan tampak mereka menyetop sebuah taksi, betapapun rumah mereka tak jauh dari jalan Braga.

Jalan Braga kian tenggelam dalam dekapan malam. Dan aku tahu, betapa banyak Biyan-biyan lain yang  hidup seperti itu. 

Mereka, para iparku itu. Sebenarnya, tak lain dan tak bukan.....  ‘pengemis’ terselubung. Hanya saja lebih berkelas, bergengsi dengan penampilan modis memukau.   Satu pelajaran mahal bagiku,  bahwa  ketidak adilan akan mencetak  dan mengekalkan perilaku malas dan buruk .

Karena    tak pernah ada sangsi sosial , apalagi teguran dan   hukuman bagi kesalahan mereka, yang ada justru  malah dukungan, belas kasihan kalap membabi buta , yang  mengekalkan pola hidup  meminta dikasihani, yang akhirnya  akan menjerumuskan mereka sendiri dalam lembah konsumtif dan kemalasan.

Kini aku sungguh tak mampu berkata apapun lagi, jangan-jangan  habis sudah kesabaranku oleh perilaku turun temurun  tersebut.

Mungkin, sudah waktunya aku melindungi diri sendiri dan keluarga intiku. Cukup sudah, toleransi ada batasnya. Orang yang kami tolong dan mewajibkan kami bersedekah  kepada mereka, sebagian besar usia mudanya  habis dengan terbanyak bersantai, boros  (membeli kosmetik perawatan kulit super mahal,  berbusana selalu modis terkini). Kurang kerja keras. 

Jam tidur kami  sehari semalam hanya 4 jam selama puluhan tahun. Sebaliknya, jam kerja mereka  hanya sedikit, dibandingkan jam  relaks mereka. yang terlalu pa njang. 

Mereka suka membual sedang sibuk kerja, padahal sedang tidur siang sepanjang hari. Atau , banyak sekali bualan dan kebohonngan mereka  karena ogah kerja keras......
Kadang mereka lupa,  di hari tua mereka tampak kerja keras , padahal banyak orang tak tau yang mereka kelabui, di masa lalu  mereka  terlalu santai. 

Tapi TUhan kan Maha Melihat. Selebar apapun bibir mereka dan lidah mereka  membual, tapi  hitungan Tuhan selalu tepat. Setiap orang akan memetik hasil dari yang ditanamnya. 
Kadang orang lupa menanam di awal berumah tangga, karena terlalu asyik memanen pohon yang ditanam orang tuanya. 

Sehingga saat pohon itu menua, dan tak lagi berbuah, mereka baru sadar, telah lupa menanam pohon dengan kerih payah sendiri. 

Mungkin.... aku tak bisa lagi  membiarkan  mereka menginjak-injak  dan  'memperbudak' kami......

Seperti gerimis senja di jalan Braga, yang berubah menjadi  amukan hujan badai dan puting beliung serta  sambaran petir ke  segala penjuru bumi. (TAMAT)

(NOVELETTE INI DITULIS DI Bandung, dari 2008-BULAN APRIL 2010)

Illustrasi Fiksi Novelet: Gerimis Membingkai Senja di Braga
by: berbagigagasan.blogspot.com
Lukisan ACRYLIC ON CANVAS (painting ) 

NOVELETTE (4): GERIMIS MEMBINGKAI SENJA DI BRAGA

Simak cerita sebelumnya di bagian 3

Hingga  ketika Biyan  di masa batita dan balita, jika kumpul keluarga besar kerap menjahili  diriku. Ia merasa menjadi tamu ‘putra mahkota’  terhormat , bahkan  berkuasa seperti pemilik  rumah. Sementara  aku identik dengan tamu yang tak berhak dihormati. Tak diharapkan.  Tapi ribuan kali ibu ayahku menekankan,  jadilah pemaaf sejati.

Aku merasakan semua itu ayah, ketidak adilan, cemoohan, sindiran……dari saudara-saudaramu ayah….….tapi kau …kau  menumbangkan semua pendapat itu .

 Ayah dan ibu selalu menguatkan hatiku,  membesarkan hatiku, memberi semangat dan  nasehat kesantunan……Ayah,  membuatku untuk tegar sebagai pemaaf…

Ayah,  yang lebih objektif dan tidak emosional. Ayah dan ibu yang memiliki logika sehat, bukan emosional yang labil.

Aduhai masa silam,  dan  semua  kenangan yang  selalu tersimpan di setiap  jengkal jalan Braga ini.

Bayangan dalam sekeping kenangan, menari-nari di benakku... Ayah  dengan langkahnya menuntunku sepanjang trotoar jalan ini. Kami melewati toko-toko pakaian  . Usiaku masih 4 tahunan. 

Tahun 1968. Di hadapan sebuah toko mewah ayah dan aku  berpapasan dengan keluarga kaya teman ayah yang habis memborong pakaian. Ayah bertegur sapa dengan ramah

Teman ayah membawa istrinya dan anaknya. Aku lihat anak kecil itu menatapku  aneh, dan bibirnya mencibir  pakaianku. Dengan baju bekas  kakak sepupuku dari sebelah ibu (anak kakak perempuan ibuku) , dan sepatu  bekas kakak  sepupuku yang agak kebesaran, aku memang kepayahan berjalan kaki. Tadi di rumah ayah mengganjalnya dengan robekan koran dan kertas.

Saat diejek itulah, aku selalu yakin bahwa Tuhan akan menambah pahala dan keberkahan bagiku. Kata ayah, setiap kita dizalimi orang, dihina, difitnah,  disakiti, diejek, …sesungguhnya kita akan mendapat limpahan hadiah dari Tuhan. Pahala dunia akhirat, jadi jangan bersedih.

Ayah akan gembira melihat aku senang. Ketika kami hampiri kantin penjual es krim dan kue tart serta roti. Bagi kami,  jarang-jarang bisa makan enak begini.

Aku tahu kesederhanaan  kami. Keprihatinan hidup kami. Namun ayah mengajarkan  bagaimana untuk teguh dalam kerpihatinan   , tetap ceria,  sebab ayah ingin jadi seorang abdi negara yang jujur. Tidak mau mampang mumpung dan bermain nakal dengan uang rakyat, alias uang negara. Tidak mau pula memark up  harga apalagi  membuat  anggaran fiktif , tak mau bikin  proyek khayalan atau yayasan   bodong demi menimba kucuran  dana pemerintah alias uang rakyat.   Lalu ibu mencari tambahan dengan merintis usaha kuliner  dan  konfeksi. Merangkak dari nol. Hingga meraih sukses kelak.

Sungguh indah jalan Braga, karena aku tak peduli dengan tertawaan sinis anak kecil sebayaku itu. Ayah menuntunku memasuki  kantin  favoritku itu. Kami duduk di kursi besi dan sebuah meja bundar.

Lalu,  dengan sukacita  ayah  menuangkan segelas limun beserta  potongan es batu. Segelas es krim  dan  kue tart  yang lezat  ikut membuat mulutku belepotan. Ia tertawa dan dengan telaten mengeluarkan saputangan, melap  mulutku. Sentuhan jemari dan sayang  yang  selalu   menjadikan aku merasa hidup.

Jalan-jalan ke Braga,  rasanya seperti menuju sebuah dunia  mimpi yang indah. Aku tergiur melihat di etalase  bukan hanya baju-baju yang bagus. Tapi juga mainan-mainan dan boneka yang membuat aku   tercengang dan cuma bisa bermimpi memilikinya.Tapi ibuku perempuan rajin yang luar biasa. Ia bisa membuat boneka sendiri dari rumput, menjahit pakaianku meski dari kumpulan tambalan kain bekas. Tapi produknya tak seperti rombengan,  cantik sekali hasilnya. .

Di meja bundar kafetaria tua ini  , aku dulu mengeluarkan sesuatu dari tas yang aku bawa. Kertas stensil dan pensil  yang aku bawa dari rumah. Aku berdua ayah akan membuat sketsa keindahan Braga. Tempat mewah dan tempat orang kaya belanja. Tapi  ayah  selalu menyisihkan  sedikit uang dan kesempatan untuk membuatku  melonjak riang ,  karena es krim kesukaanku dan roti yang lezat.

Ayah tahu betul, bahwa aku selalu  tergiur kelezatan roti yang biasa dibeli Mang Idi,  namun aku harus menahan diri. Karena roti ini untuk tamu wisma.

Lain ketika ayah akan mendongeng di atas meja bundar itu. Entah berapa banyak imaji indah terlukis dalam benakku, merangkai kenangan. Tahun demi tahun, hingga kini usiaku  sudah menjelang tengah baya. Bukankah dulu ayah membuatku tumbuh sebagai seorang  penyuka seni yang  terkadang sulit dipahami oleh pasangan manapun.Tapi suamiku  orang istimewa  yang membuatku   merasa bak bintang dunia.

Seni membuatku merasa hidup. Melodi kehidupan yang tercipta,  beberapa karya di layar kaca dan layar lebar  telah mengantarku pada sebuah masa dimana kenangan tentang Braga ini hampir saja tenggelam.

Tiba-tiba  ada suara nyaring memecah lamunanku. Lamunan yang berantakan, tidak sistematis, tidak beraturan. Pikiranku yang berlompatan kepada babak-abak yang acak-acakan. Tentang  kehidupan keluarga besar nenekku, tentang kenangan manis bersama ayahku... Semua dari masa kanak-kanak...

Dan kini saat duduk melamun berkepanjangan, nyaring suara bocah itu mengembalikan kenyataan.  Sejumlah anak-anak kecil berlari menghampiriku , dan kurengkuh dengan cinta dan kasih sayang tanpa membedakan satu dan lainnya. Dan lelaki tua itu  mengiringi  kehadiran mereka.

“Eyang putri , mau roti enak  sama es krim Bandung  jaman dulu yang  diceritakan Eyang kakung…” para cucuku   duduk manis.

“Boleh-boleh,  sudah Eyang pesan. Sebentar Eyang matikan dulu laptopnya….. Coba kalian lihat , meja ini, dulu  tempat  almarhum Ayah Eyang suka menraktir  Eyang. Kursi dan mejanya masih sama seperti  46 tahun lalu. Rotinya masih sama seperti dulu……. Kue tartnya juga….Hanya jalanan dan suasananya yang berbeda….. Tapi,  kalian harus tahu, jalan Braga ini  penuh sejarah indah  masa kecil….. Tempat jalan-jalan Eyang putri bersama  Uyut…… “  pungkasku setelah  datangnya kue-kue berselimut coklat dan es krim klasik. (BERSAMBUNG KE BAGIAN 5)

NOVELETTE (3): GERIMIS MEMBINGKAI SENJA DI BRAGA

Simak cerita sebelumnya di bagian 2

Usia 3 tahunpun aku sudah bisa merasakan apa arti ketidak adilan itu, dan karenanya aku  kurang dekat dengan nenekku. Nenek berpihak pada Uak Rere, pamanku, bibiku, selalu  tak berhenti mengkritik ibuku, menggali dan terus mencari kesalahan ibuku.

Terlebih ketika usiaku beranjak 4 tahun, aku makin merasakannya.  Nenekku seperti tak suka dengan keberadaanku.

Ketika usiaku  5 tahun, nenekku  ingin memajang potret semua cucunya saat bayi. Maka bibiku meminta foto-foto untuk dipajang di dinding, kepada   uak  , paman dan bibiku, kecuali kepada ibuku. Semua potret bayi cucunya dipajang, di dinding depan kamar nenek,  kecuali potretku.

Diam-diam ibuku terisak saat itu, aku datang ke pangkuan ibu. Lalu kuusap airmata  ibuku. Kuperhatikan wajah teduhnya , tampak teramat  cantik , bagiku.  Meski berselimut kepedihan, kekecewaan ,  dan menyembunyikan rasa sakit hati bertubi-tubi. Ia tak tampak seperti wanita yang teraniaya, tapi aku tahu  , mata ibu tak bisa menyembunyikan kepedihan hatinya.

Bahkan ketika Uak mencaci maki ibuku dengan bahasa pedas  dan dengan rasa gemas dan nafas terengah-engah . Uak Rere mahir memutar balikkan fakta, berupaya habis mendiskreditkan ibuku,  dan kelihatannya uak dan nenek ingin  menghapus keberadaan ibuku dari keluarga besarnya.Kalau perlu menjadikan  ayahku membenci ibuku dan menceraikan ibuku.

Betapapun ibuku kelak mampu mendampingi ayah. Secara pribadi ibuku yang mandiri merintis  usaha sendiri, hingga ibuku kelak  menjadi pengusaha  besar yang sukses, dan mengantar anak-anaknya menuju pintu keberhasilan.

Bahkan  menurut cerita teman ibu,   bahwa ibuku wanita santun yang  jadi rebutan  banyak lelaki. Ibuku  memiliki  kharisma tersendiri  dan  pekerja keras yang kreatif  cerdas. Justru hal itulah sesungguhnya yang menyemai kebencian nenek dan uak serta  paman dan bibiku.
Namun tentu saja  mereka pantang mengemukakan alasan kebencian mereka  secara jujur. Mana mau mereka bilang cemburu pada ibuku.

Keangkuhan membuat mereka  malah menyemai   seribu satu alasan lain. Untuk menutupi kedok kedengkian di hati mereka. Alasan yang mereka  cari dan gali , alasan yang justru memojokkan ibuku. Alasan yang mereka besar-besarkan dan ada-adakan,    sehingga tampak dahsyat.

Tapi ibuku berkata, jangan pernah membalas kejahatan mereka. Ajaibnya  mereka yakin bahwa mereka tak jahat. Mereka menipu diri sendiri,  dan  justru mensugesti dir, bahwai ibukulah yang jahat. Jangan membalas, kata ibu, lebih baik serahkan kesedihan hanya kepada Tuhan.

Sejak kecilpun aku sudah merasakan apa makna ketidak adilan itu. Tapi ayah ibuku mengajari aku  makna bersabar, dan betapa   besarnya kekuatan Tuhan   jika kita sabar lalu minta perlindunganNya. Betapa  pentingnya  untuk menjadi kuat dan  memaafkan. Memaafkan, itulah pelajaran yang paling sulit.
Anak mana yang tak sedih hatinya  ketika ibunya diperlakukan semena-mena, ketika ibunya dizalimi.  Termasuk kena fitnah. Dan ketika anak itu sendiri merasakan imbas perlakuan nenek yang berat sebelah itu. (BERSAMBUNG  KE BAGIAN 4)

NOVELETTE(2): Gerimis Membingkai Senja di Braga

sambungan dari bagian 1

Braga oh Braga,  di sini kenangan  tak pernah  pupus di benakku.

Lain kali di lintasan jalan ini seolah aku melihat sosok ayahku yang tegap dan tampan. Pada masa mudanya .
Ayah yang mengisi kenangan  begitu dalam, sosok yang membuat  aku merasa hidup dan bermakna . Semua kata-katanya selalu meneguhkan bahwa aku  tetap anak istimewa. Sehingga mampu menumbangkan pendapat-pendapat  miring dari kelompok orang yang dewasa yang  kerap sulit aku lupakan.

Ungkapan  negatif , yang  walaupun untuk anak seusiaku baru  4 tahun, sudah dapat aku pahami. Mulai dari ucapan si buruk  rupa yang berkulit gelap,  sampai si bodoh, atau  bahasa tubuh yang jelas mewakili rasa  tak suka  kepadaku…Bahasa tubuh yang mencemooh aku…… Anak kecil yang seolah kehadirannya tak disukai , tak diharapkan, …….  .Dan pastinya, jelek itu identik dengan bodoh,  aku kerap mendengar ucapan menyakitkan begitu. ….

 Lalu aku mulai belajar , apa artinya ketidak adilan itu. Betapapun datangnya dari orang  yang membuat aku ada, darah dagingku sendiri. Nenekku, uakku, pamanku, bibiku.  

Aku mulai mengenal dan merasakan bahwa banyak orang dewasa yang tidak adil dan berpihak  kepada  anak kecil lainnya tanpa memperhatikan  perasaan anak kecil lainnya.Memuja yang satu di hadapan yang lainnya, sementara yang lainnya itu dicemooh. Atau membela yang satu betapapun nakalnya, sementara yang dinakali itu malah dicela.

 Aku bisa merasakan bagaimana seorang nenek  selalu tandas habis  menghujani pujian  dan sanjungan kepada cucu yang ia sayangi  ,  hanya karena  orangtuanya  adalah menantu tercintanya. Bahkan sanjungan bahwa sang menantu memiliki orang tua hebat istimewa,  memiliki orang tua yang  pantas dijadikan kebanggaan. Besan  kesayangan, istilahnya. Sementara  ibuku? 

Aku bisa merasakan, sejak kecil, jika keluarga nenek habis-habisan menjamu  besan kesayangannya, dan ibuku  terbirit-birit antara dapur, ruang makan,  ruang tamu , demi menyempurnakan jamuan bagi besan  hebat yang  entah mengapa nenekku begitu menyanjungnya. 

Besan  berdarah biru yang pantas dihormati.Besan yang cucu-cucunya jika datang mendapat sambutan bak putra-putri mahkota  yang  kudu dihormati, disanjung, disayangi dan dilayani. Bahkan nenek seperti  juga kakek, selalu menekankan ayahku agar sepanjang hidupnya memerhatikan keluarga uakku itu, Uak Rere dan Uak Raden, melayani dan meluangkan waktu bagi mereka. 

Kadang ayahku seperti supir dan pengasuh bagi  sepupu-sepupuku itu. Kadang ibuku seperti pelayan bagi  uak dan anak-anaknya.
 Lalu  sikap nenekku terhadap uakku, maksudku menantunya itu , lelaki  berdarah menak itu  ,  menyerupai sambutan  bak raja di raja. 

Untuk putri kesayangan nenek, uakku itu,   kakak perempuan ayah, kedatangannya bak seorang ratu. Nenekku habis-habisan menyiapkan  hidangan  penghormatan terbaik, dan membiarkan  pasangan itu bak dewa-dewi yang  bukan hanya harus dijamu dengan santapan terbaik, tapi mereka   dimanja untuk istirahat dan bersantai.  Tidur dan tidur…….. Betapapun untuk itu ibuku harus dikorbankan  demi melayani anak-anak  sang raja dan ratu ‘kandang’ tersebut.

Sementara ibuku, jika dia datang dan bermalam di rumah nenek, tugasnya adalah kerja-dan kerja…..Salah sedikit saja pekerjaannya, nenekku akan mengomentari secara halus lembut, namun sebenarnya sinis dan tajam.

Ada saja salah ibuku. Kalau ibuku tak ada salah,  nenek dan uakku bahkan bibiku, akan berembuk mencari-cari apa saja  daftar kesalahan ibuku yang bisa dibesar-besarkan.
Yang bisa mensahkan kebencian mereka kepada ibu. Dan membuat perilaku negatif  mereka kepada ibuku jadi  legal.

Aku sebal  karena  mereka kerap kali menginterograsi diriku, demi mengorek-ngorek rahasia ibuku. Bahkan cenderung menekan dan memaksa, lantas  menggiring  jawabanku , sehingga lewat omonganku mereka putar-putarkan, ibuku seolah terbukti salah.

Aku telah belajar  tentang arti kedengkian dan  ketidak adilan itu sejak usia dini. 
Dan bagaimana seorang nenekku  bersikap sangat membedakan, sinis, ekspresi wajah  dingin kepada  salah satu cucunya (aku)  karena  …entah apalah. Bisa jadi karena  dendam pribadi terhadap besan , atau entah kedengkian atau entah kecemburuan kepada sang menantu, ibuku.

Sementara cucu lainnya diperlakukan  jauh lebih baik dari aku.  Biyan dan Mbak Denok anak uakku,   atau  Rafli dan Andina,  anak pamanku , oleh nenekku,  mereka disayangi habis-habisan,  disanjung habis, dijadikan sasaran perhatian siang dan malam, digendong, dipeluk, disuapi, diceboki, dilayani………

Aku tidak!! 

Aku merasakan itu…Bahkan sejak usia bayi,  tak ada satu fotopun dimana nenekku menggendong  aku? Di ruang keluarga, semua foto cucu nenek ada, kecuali foto aku.

Tidak , tak satupun….. Pernah aku mencoba bertanya kepada salah satu pembantu nenek, apakah dulu aku seperti  Biyan sepupuku  disayangi oleh nenekku?

Atau seperti Mbak Denok ,  kakak Biyan yang  mendapat sanjungan hebat nenek.?   Dan nenek selalu berlinangan airmata jika Biyan ,  Denok, Rafli dan Andina  pamitan pulang  setelah bermalam di rumah nenek. Tapi nenek tak pernah merasa berat berpisah denganku.

“Wah, Neng , belum pernah tuh juragan istri teh menggendong Neneng…..…,  juragan kelihatannya  kurang suka sama Neneng….  Ia juga tak kelihatan gembira  waktu Neneng lahir,  jauh berbeda dengan kelahiran Biyan dan Denok….,atau lahirnya Rafli dan Andina….” ujar  pembantu nenek. (BERSAMBUNG KE BAGIAN 3)

NOVELETTE (1): Gerimis Membingkai Senja di Braga (1)

Bandung , Senja di Jalan Braga 2010.


ILLUSTRASI FIKSI/NOVELETTE :
 gerimis Membingkai senja di Braga, 
berbagigagasan.blogspot.com. Illustrasi Fiksi by: masrierie
ACRYLIC PAINTING ON CANVAS , THE FLOWER, LEAF  AND THE MOON, BY ME




            Bukankah segelas kopi panas kaya kepulan   asap   ini , yang telah menumbuhkan  kerinduan itu?  Aroma kuat yang  mengairi  sekujur urat darahku. Dan membunuh rasa kantukku.

            Potongan kue   klasik yang beberapa kali  kutelan  sanggup menyemai semangat ,  dan  sebuah laptop mungil penuh  setia  menanti  di hadapanku. Dimana potret-potret tua  putih kekuningan  membentang di layar, silih berganti menuturkan  tatap mata dan senyum sarata makna  dari  masa  silam. Wajah-wajah dimana pada setiap lekuk  pandangan serta  garis  ekspresinya memuat  berjuta  kisah.

Di luar, trotoar dengan barisan tanaman hias serta gerimis  membentuk  padanan  senja  jalan Braga.  Kesenyapan jalan yang cuma jadi  lintasan belaka. Seolah  tak ada ikatan batin untuk sekedar singgah di jalan sarat nostalgi ini.

Tanganku menyambar  cangkir kopi di antara  suasana senja . Musim hujan terasa panjang, dan  curah hujan begitu tinggi. Gemuruh petir,   angin putting beliung , banjir , longsor, itu adalah  berita  keseharian masa kini.  Yang langka sekali di masa  lalu.

Apakah  yang ingin kutuliskan dalam  pikiranku di  keheningan ini? Menunggu  matahari surut di barat, hingga barulah terdengar  satu demi satu  dentuman musik dunia malamnya. Menutup siang yang  lengang dan  lesu. Bahkan gairah malampun tak  segempita  sejarahnya di masa-masa  tahun 1930an.


ILLUSTRASI FIKSI/NOVELETTE :
 gerimis Membingkai senja di Braga, 
berbagigagasan.blogspot.com. Illustrasi Fiksi by: masrierie/ME

OIL PAINTING ON CANVAS , BEAUTIFUL FLOWERS, , BY ME

Tak ada  pentas drama  dan  opera para bule  jelita, tak ada juga hentakan kaki kuda menghela  kereta ,   atau sepeda ontel tua  dikayuh  lelaki berpantolan cokelat , maupun  juragan  perkebunan dengan topi  kelabunya.

Tak ada juga  mobil –mobil  kebesaran kaum  penjajah  hilir mudik dan parkir di sekitar Bioskp Majestik , maupun  yang singgah sekedar minum dan bersantai di dalam  selimut kehangatan Gedung Condordia  putih yang kokoh.

Maison Bogerijen, restoran dan toko roti, es krim  dan pattiseri yang pernah menjadi  pusat  keramaian tempo dulu itupun tampak lunglai dan  renta. Berganti nama, namun  entah mengapa   sepi dan sepi selalu.  
Deretan  kebisuan sejarah. Arsitektur tua membungkam tanpa lonjakan emosi apapun.Aku melepas pandang ke arah  pelintasan jalan yang  begitu naif. Mereka pasti tak merasakan aura  masa silam yang luar biasa mengesankan, kisah-kisah  terindah pernah berjaya di sini.

Di kejauhan , emperan warna-warna  kanvas  berderet  dari kaum pelukis jalanan. Namun  warna dan polesan yang disampaikannya  begitu hidup dan sanggup menembus lapisan emosi manusia. Pesona kreatifitas seni emperan yang  tentunya   juga mewakili  suara-suara jiwa seniman dengan kekuatan dahsyatnya.


Musik jalanan tak lagi terdengar. Dentingan kecapi Braga Stone dari tahun 1970an dan awal 1980an sudah puluhan tahun tenggelam. Hanya deruan mobil di atas hamparan  batu andesit kelabu yang baru saja  terpasang setahun silam.  

Ada beberapa tempat yang pernah mencatat  ingatan, meski kadang samar, namun adakalanya begitu  tajam menusuk. Menuju  sebuah kafetaria tua  biasanya Mang Idi   memboncengku naik sepeda  kumbang hitamnya. Membeli roti tawar hangat yang sungguh harumnya membuatku  jadi sangat ingin menyantapnya.

Puluhan tahun silam. Mang Idi pegawai sebuah wisma milik  BUMN di mana kakekku mendapat tugas untuk menghuni sekaligus mengelolanya. Setiap hari jika tamu sedang membludak, ia akan membeli roti tawar berkualitas tersohor tersebut  di Bandung. Aku hanya bisa menelan liur belaka.

Mulai dari mengamati pelayan yang ramah itu mengeluarkan roti dari oven, lantas membungkusnya dengan kertas singkong daur ulang warna krem kecoklatan. Mang Idi memasukkannya ke dalam keranjang,  lalu menggantung di stang sepeda. 

 Kami melintasi jalan Merdeka, lalu jalan Dago yang teduh. Jika sudah tiba di gerbang wisma aku diturunkan. Dan berlari kecil menuju dapur. Di sana Bik Anah sang juru masak  akan mengiris-iris roti dengan pisau setelah mengupas kulitnya. Lalu memolesnya dengan mentega dan  menaburinya dengan gula pasir. Aroma mentega bercampur roti harum  menggoda selera tatkala Bik Anah mengolahnya jadi roti bakar. 

Tampaknya ia mengerti bahwa aku begitu menginginkan makan roti tersebut. Karena kasihan ,ia diam-diam memberiku kulit roti yang biasanya nanti akan dijemur dan ditumbuk jadi tepung roti untuk membuat kroket kentang. Menyantap kulit roti  saja bagiku sudah luar biasa nikmatnya. Apalagi Bik Anah akan  memolesi kulit roti tersebut dengan  mentega klasik  roombuter.

ILLUSTRASI FIKSI/NOVELETTE :
 gerimis Membingkai senja di Braga,
berbagigagasan.blogspot.com. Illustrasi Fiksi by: masrierie/me
ACRYLIC PAINTING ON CANVAS BEAUTIFUL FLOWERS, BY ME

Roti jalan Braga yang padat, mengenyangkan, harum  , gurih , agak manis dan teramat lezat. Pada masa  tersebut  roti  itu makanan istimewa, sama seperti mahal dan istimewanya makan telur dadar atau lebih istimewa lagi telur mata sapi. Apalagi daging ayam,  hidangan  yang  terlalu istimewa buatku.

 Braga oh Braga,  di sini kenangan  tak pernah  pupus di benakku (bersambung ke bagian 2)

Senin, 13 Juli 2015

TUMIS RUJAK UDANG


Bahan:
Bangkuang,   potong dadu kecil                                 200 gr
Ketimun, buang bijinya (keruk) , potong dadu           200 gr
Mangga mengkal , serut kasar                         150 gr
Nanas manis    , potong dadu kecil.                            150 gr
Daun kemangi petiki daunnya saja                             1 ikat
Cabai merah , iris tipis serong                                     2 buah
Daun bawang (ambil putihnya saja) , iris tipis            2 batang
Udang kupas                                                               250 gr
Minyak goreng secukupnya
Saus Tumis:
Saus Tiram ABC                                                         60 gr (2 sachet)
Kecap manis ABC                                                      50 ml
Saus Tomat ABC                                                        6 sdm
Sambal Ekstra pedas ABC                                         2 sdm
Bumbu (haluskan):
Bawang putih                                                              5 siung
Garam                                                                                     1 sdm
Kencur                                                                        1 ruas jari
Jahe                                                                             2 ruas jari
Terasi                                                                           1 ruas jari
Pelengkap:
Kerupuk udang
Kacang tanah goreng  sesuai selera

Cara membuat:
  1. Panaskan minyak goreng, tumis bumbu halus hingga harum/matang, masukkan  udang, daun bawang , daun kemangi,  lalu  kecap manis ABC, saus tomat ABC, sambal botol ABC,  Saus Tiram ABC,  aduk-aduk sampai kecapnya berbusa.
  2. Masukkan potongan bangkuang, ketimun, nanas, dan mangga serta irisan cabai merah, aduk-aduk merata. Jangan terlalu lama dan layu, Supaya tetap segar
  3. Sajikan di piring, taburi dengan  kacangtanah goreng. Lengkapi dengan kerupuk udang.
Nikmat  juga disantap dengan nasi hangat pulen

Opini: Mudik Lebaran , Bertamu dan Menginap.Jadi Tamu Idola? Atau Tamu yang Bikin Betekah Anda?

Hari Raya Iedul Fitri sudah dekat,  kebanyakan saat mudik, yang kita kunjungi adalah  para sepuh, orang tua kita, mertua,  nenek, kakek, paman, bibi atau kakak sulung kita. Banyak dari mereka yang usianya sudah lanjut.
Saat berkunjung, di antara pemudik memang ada yang menginap di hotel  atau penginapan. Makan tidur mandi ya di hotel/penginapan. Berkunjung ke pinisepuh  hanya  beberapa jam saja. Ini jenis tamu yang tidak memberatkan tuan rumah.
Tapi lebih banyak lagi yang  bukan hanya  bertamu, tapi menginap, makan, tidur , mandi  di rumah  sesepuh  utama keluarga besar. Bukan hanya satu dua malam, tapi bisa hingga beberapa malam dan beberapa hari. 
Para sesepuh tersebut  , seperti sudah jadi aturan tak tertulis, seolah-olah  wajib  menyiapkan konsumsi untuk semua tamu. Sarapan, makan siang, dan makan malam. Wajib pula menjadikan rumahnya penginapan dadakan. Termasuk menyiapkan sprei dan selimut bersih, kasur dan kamar.
Tapi pernahkan kita memahami  kondisi fisik para lansia ini? Kelelahan dan keuangan mereka di hari tua? Lalu... pernah pulakah anda merasakan  tulang serasa mau copot saking lelahnya melayani tamu saat lebaran? Karena saat itu para asisten rumah tangga  pada mudik. Atau karena memang segari-hari tak ada pembantu?
Kalau tamunya lebih dari 75 orang, sama saja dengan melayani pesta alias hajatan. Tenaga dan finasialnya harus prima dong. 
Nah, kalau anda sendiri menjadi tamu, masuk kelompok manakah? Tamu ideal yang kehadirannya Tidka Bikin Puyeng, dan Kepergiannya Tidak Menyisakan Masalah? Atau......

Mudik Lebaran dan Bertamu, termasuk Tamu Yang ‘Bagaimanakah’  Anda?

Sabtu, 04 Juli 2015

my diary: menuliskan kenangan ,

Bandung, Minggu pagi, kala cerah kemarau  memayungi jiwa, tanggal 5 Juli, langit berpendar di atas  cekungan Bandung.

Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Bandung, Bandung TempoDulu, Tahun 1974.

Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Bandung, Bandung TempoDulu, Tahun 1974.


Kenangan  tentang Bandung selalu  indah dalam cerita. Taman lalu Lintas, punya  cerita sendiri dalam benakku....

Dulu di taman ini pernah ada rutinitas pentas menyanyi, teater sederhana, dan  babak penyisihan  Pop Singer Contest se Bandung. Banyak nama yang jebolan Pop Singer Contest, baik langganan juara maupun langganan finalis. Sebut saja Tri Budiman, Rina Megasari, Rieka Adriati, Euis  Cahya, Evi Tampubolon, Jenny Palengko, Arifin Yudanegara, etc etc. 

Dulu pernah ada Bina Vokalia Ade Irma. Pengajarnya Pak Isnendro, dan Pak Eddy.  ADa Pak Raden Gumawang yang memenejeri Taman ini.

Tri Budiman paling doyan menyanyikan lagu TANPAMU, lagunya Tetty Kadi.

Lirik lagu Tanpamu  begini:

Sekuntum Bunga Indah yang sedang mekar
Selalu merindukan sinar surya
Selalu merindukan jatuhnya embun
Sepertiku yang selalu merindumu
Tanpamu apa artinya
Tanpamu serasa hampa
Gairah hidup kan musnah selamanya
Denganmu akau merasa denganmu pasti kan nyata
Impian hidup bahagia terbayang nyata

Atau suka juga menyanyi Malam Yang Dingin, lagunya Melky Goeslaw bersama Diana Nasution.

Ini lirik lagu Malam Yang Dingin,dinyanyikan almarhum  Melky Goeslaw, ayahnya Melly Goeslaw

Di malam, di malam yang dingin dan sesunyi ini
Teringat aku akan dirimu sayang
Hanya engkaulah kasihku seorang
Mungkinkah
Mungkinkah kau akan kembali sayang
Walaupun itu hanya sekejap saja Oh kasihku

Entah dimana kini kau berada sudah kucoba untuk mencari
Di malam yang dingin dan sesunyi ini
kusendiri


Lantas ada lagi  lagu yang saya suka waktu itu. Salah satu lagu wajib Pop Singer Contest tahun 1977 1978 an membuat saya kepincut.

Judulnya: Hilang Dalam Kegelapan. 

Lagu yang pernah dinyanyikan oleh Broery Marantika atau Broery Pesolima.

Di Kesunyian malam itu...Dikau datang. Dalam bayangan wajah sendu kehancuran. Sekejap Kau singgah. Bisik tersendat senyum rawan. Indah Syahdu. Nasib yang malang memaksa kita berpisah. Maaf kupintakan. 

Bagai petir menyambar. Pada siang erah terang. Aku diam tak berdaya. Peristiwa datang tiba-tiba. dan kala kusadar. Semuanya bukan khayal mimpi.

Dikau hilang lenyap. Dalam kegelapan tanpa kesan....

Cerita-cerita pada masa itu saya tuliskan di sini. Di Kompasiana. Ada masa-masa tak terlupakan .... saya catat di sini.

http://www.kompasiana.com/masrierie/tempo-dulu-di-bandung-6-taman-lalu-lintas-ade-irma-suryani-bina-vokalia-ade-irma-hingga-festival-pop-singer_55988383939373fe0a97b61b


TAGS: bandung tempo dulu, taman lalu lintas ade irma suryani, pop singer contes tahun 1970an, tri budiman, lirik lagu Hilang dalam Kegelapan. Broery, Melky Goeslaw, Diana Nasution

Kerajinan Tangan Daur Ulang Kardus Bekas , Bunga kering, Bulir Jengger Ayam Celosia

Punya kardus bekas  yang bentuknysa sudah nggak jelas? Hias saja yuk dengan bulir-bulir bunga jengger ayam. Bunga jengger ayam ini sering tumbuh liar di alam lepas.  Di lahan-lahan kosong, tumbuh subur. Kalau di Bandung masih ada juga  lahan bekas sawah yang siap dibangun, saya sering berburu bunga jengger ayam liar ini.  
Bahan Bunga Kering
Jengger ayam (Celosia) di alam liar


CARA PRAKTIS  MEMBUAT BUNGA KERING  DARI CELOSIA DAN CARA MEWARNAINYA

Bunga jengger ayam bisa kita jadikan bunga kering. Bisa kIta beri warna. 

Caranya , setelah ditpetik, rebus dengan pewarna . Bisa pakai Wanteks atau pewarna tekstil. Bisa juga pewarna makanan, hanya saja warnanya agak pucat.

Lalu saat menjemurnya, ikat dulu satu sama lain batangnya, beri tali. Gantung di jemuran pakai tali diikat. Gantungnya harus posisi terbalik,  jemur sampai kering.


JIka sudah kering bisa dipajang menjadi rangkaian bunga. Adakalanya setelah proses pengeringan  bulirnya rontok. Nah yang bulirnya rontok , sekalian saja rontokkan. Lalu simpan di toples plastik ecil untuk siap diolah.
bahan kerajinan tangan daur ulang kardus bekas. Bunga jenger ayam yang dikeringkan/diawetkan,  untuk menyelimuti permukaan kardus bekas


Cara mengolahnya,begini. Bukan  dengan memoles luar kardus dengan lem lalu ditaburkan ke atasnya. Bukan. Cara sebenarnya, siapkan mangkuk, siapkan lem putih FOX di dalamnya. Masukkan bulir jenger ayam, aduk seperti adonan kue. Gunakan sendok. Lalu adonan ini ratakan di seluruh permukaan luar kardus. 

Kalau sudah kering jadinya seperti di bawah ini. 

kerajinan tangan daur ulang , kardus bekas, luarnya dilapisi adonan lem putih fox dengan bulir bunga kering, bunga jengger ayam.  Dibuat di Bandung tahun 2005. 



tags: Kerajinan Tangan Daur Ulang Kardus Bekas , Bunga kering, Bulir Bungga Jengger Ayam .Step by step cara membuat handicraft daur ulang , dari kardus bekas, dan bunga kering.RECYCLE  HAND CRAFT, HAND MADE , DRY FLOWER , 

Kerajinan Tangan Daur Ulang , Mangkuk Plastik Bekas, Gips, Kulit kerang

Mangkuk plastik atau mangkuk styrofoam  bekas , bisa diolah menjadi mantel pot bunga. Atau menjadi wadah serba guna. Caranya mudah. Gunakan Gips untuk membalutnya.




Bahan dan Alat:

1. Mangkuk bekas.
2. Gips dan air secukupnya .
3. Untuk menghiasnya  siapkan bahan berupa kerikil warna kuning (biasa dijual di tukang akuarium), atau kulit kerang darah yang sudah dicat pakai cat acryilic warna kuning.
4. Lem Putih merek FOX untuk  mengoles supaya hasilnya mengilap.
5. Alat berupa  baskom kecil dan sendok makan yang kokoh.
6. Alat berupa kuas.

Cara Membuat Kerajinan Tangan Daur Ulang , Mangkuk Plastik Bekas, Gips, Kulit kerang:

1. Gips ditambahkan air, aduk-aduk.
2. Poles gips ke seluruh permukaan luar mangkuk dengan bantuan sendok. Lalu letakkan dengan posisi menangkup.
3. Jika ingin berhias kerikil kuning tinggal menekan-nekan ke permukaannya. Sebelum  gipsnya kering, akan  mudah melekat. Setelah kering,  jadi menempel.
4. Untuk kulit kerang caranya lebih sulit.  Cekungan kuit kerangnya harus diisi dulu dengan lem putih. Baru direkatkan, dan tekan kulitnya supaya menancap.

Setelah kering  dan keras, polesi seluruh permukaan dengan  lem putih. Poles menggunakan alat kuas. Jika kering akan mengilap hasilnya.

Mangkuk plastik atau mangkuk styrofoam  bekas , bisa diolah menjadi mantel pot bunga. Atau menjadi wadah serba guna. Caranya mudah. Gunakan Gips untuk membalutnya. 


Mangkuk plastik atau mangkuk styrofoam  bekas , bisa diolah menjadi mantel pot bunga. Atau menjadi wadah serba guna. Caranya mudah. Gunakan Gips untuk membalutnya. 

tags: Kerajinan Tangan Daur Ulang , Mangkuk Plastik Bekas, Gips, Kulit kerang , Recycled Crafts, bowls Plastic Used, Gips, clamshell